Pekerjaannya mencari barang bekas, membuat sebagian besar orang menganggap remeh pemulung. Bagaimana tidak? Mereka mengorek tempat sampah untuk mendapatkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual. Namun, berkat kehadirannya pula, lingkungan dapat terbebas dari barang bekas yang bila dibiarkan bisa menjadi sampah. Mereka juga membantu pemerintah dalam mengelola sampah. Tak hanya itu, hasil pekerjaannya mereka juga menjadi tumpuan bagi keluarganya.

FAUZI ALBANTANI – Serang

Selepas subuh, saat aktivitas masih sepi, tempat-tempat yang ramai pada siang atau malam hari di Serang dipenuhi pemulung yang berburu barang bekas. Suasana ini terlihat di kawasan Pasar Lama dan Pasar Rau. Mereka memungut apa saja yang masih bisa dijual, yang tercecer di jalan. Bermodalkan karung yang dipanggul, mereka memungut kardus, plastik atom, atau besi jika ada.
Tak hanya itu, mereka juga tidak sungkan-sungkan mengorek tempat sampah yang mengeluarkan aroma yang tak sedap. Dengan teliti, pemulung mengambil barang bekas jika ada. Jika tidak ada, mereka beranjak ke tempat sampah lainnya sambil berharap dapat menemukan barang bekas yang dapat dijual kembali.
Sekarung, mereka dapat membawa 5 hingga 15 kilogram setiap hari. Dalam sekejap, jalanan yang biasanya ramai itu tampak terbebas dari sampah yang kardus atau plastik.
Selain menggunakan karung, ada juga pemulung yang menggunakan gerobak mirip becak. Namun, untuk berburu barang bekas, mereka tak hanya berkeliling mencari di jalan. Tapi juga kerap menawarkan ke rumah-rumah warga yang memiliki barang bekas. Mereka menawar kardus, plastik, atau besi yang dimiliki warga dengan cara membeli. Untuk kardus, pemulung menawarkan dengan harga Rp 500 per kilogram. Plastik, mereka menawar dengan harga kurang lebih Rp 1.000 per kilogram. Sedangkan besi, mereka berani membeli dengan harga Rp 1.000 per kilogram.
Tidak hanya membeli, dalam mencari barang bekas, mereka juga kerap menawarkan dengan cara barter. Mereka sering menawarkan barang bekas dengan menukarnya dengan minyak tanah atau bahan-bahan dapur, seperti bawang merah.
Tak sampai sehari penuh, jika gerobaknya sudah dirasa penuh dengan barang bekas, pemulung menghentikan aktivitasnya. Artinya, barang buruannya yang terkumpul itu dapat menghasilkan uang lumayan untuk menyambung hidup.
“Kayaknya saya bisa dapat Rp 50 ribu,” ungkap Yasin (22) pemulung yang tinggal di kampung Gempol, Kramatwatu, tanpa menyebutkan berapa kilogram barang bekas yang diperolehnya.
Menurutnya, ia mendapatkan barang bekas dengan berkeliling ke perumahan-perumahan yang ada di kawasan Serdang, Kramatwatu hingga Waringinkurung. Kawasan ini menjadi favorit karena setiap harinya barang yang dicari Yasin banyak terdapat di kawasan itu. Selain itu, di kawasan tersebut, Yasin sudah dikenal warga setempat.
“Saya biasa ngeloroh (memungut barang bekas-red) di sana, karena sudah kenal dengan warga di sana. Satpam yang bertugas di sana juga baik-baik, karena mempermudah saya masuk ke perumahan,” ungkap Yasin, yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang di pinggir Jalan Raya Serang-Cilegon.
Setelah dirasa cukup beristirahat, Yasin bergegas menuju lapak barang bekas untuk menjual barang buruannya itu. Setelah sampai ia langsung menurunkan bawaannya, kemudian dikelompokan sesuai dengan jenisnya, seperti kardus ia kumpulkan bersama kardus yang lain menjadi satu.

Lapak Barang Bekas
Sekira pukul 16.00 WIB, biasanya lapak barang bekas dipenuhi antrean pemulung yang siap menjual barang buruannya. Seperti yang terlihat di lapak barang bekas milik Suryana (26) di Kemang Serang. Menurutnya, sehari lapaknya menampung sekitar 8 kwintal atau sepadan dengan 800 kilogram barang bekas yang didapat pemulung. Dari jumlah tersebut, Suryana mengantongi untung hingga Rp 400 ribu. Dari keuntunganya itu, Suryana dapat menghidupi keluarganya dan 5 orang karyawan.
Setelah terkumpul melebihi 1 ton, Suryana langsung mengirim barang bekas sesuai dengan jenisnya ke pabrik-pabrik daur ulang di Jakarta. “Kalau sudah banyak, langsung di kirim ke Jakarta. Biasanya setelah mengirim lapak kami jadi bersih tanpa tersisa. Namun, sampai sekarang, saya ngirim dengan menyewa mobil, maklum saya belum punya mobil losbak,” katanya.

Lingkungan Jadi Bersih
Yasin dan Suryana salah satu contoh orang yang berpenghasilan dari barang bekas. Namun, dengan pekerjaannya itu, sekaligus mereka ikut andil menjaga lingkungan. Bagaimana tidak. Barang bekas yang sudah tidak terpakai, pasti dibuang oleh pemiliknya. Tak jarang, warga juga kerap membuang barang bekas sembarangan. Sehingga lingkungan menjadi kotor dan tak sedap dipandang mata.
Dari warga sendiri banyak merasa terbantu dengan kehadiran mereka, salah satunya Kurniasih yang tinggal di perumahan Pasir Indah Serang. Menurutnya, jika kardus atau plastik yang dibuang ke tempat sampah tidak diambil kembali petugas kebersihan, maka sampah menjadi menumpuk. Dan akhirnya tercecer hingga ke jalan. “Justru mereka juga membantu kita dalam hal permasalahan sampah,” ungkapnya.
Kurniasih pun sering memberikan langsung barang bekas yang tidak terpakai kepada pemulung. “Kadang-kadang barang bekas saya kumpulkan di gudang. Kalau ada pemulung saya kasih, tapi kalau besi saya jual ke mereka,” tambahnya.
Walau begitu, banyak juga warga yang tidak senang dengan keberadaan mereka, salah satunya Nurhayati, warga Taman Purnabhakti Taktakan. Menurutnya, pemulung terkadang sembarangan dalam mencari barang bekas. Sehingga, bukannya jadi bersih, malah menjadi lingkungan menjadi kotor dan sampah menjadi tercecer. “Kalau ngorek-ngorek tempat sampah, kadang mereka sering ngacak-ngacak,” ungkap ibu rumah tangga ini.
Selain itu, mereka juga kerap mengambil barang yang masih terpakai diam-diam. “Waktu itu, jemuran saya pernah hilang, kemungkinan diambil pemulung. Karena sebelum saya tahu jemuran hilang, saya melihat pemulung berada di dekat rumah saya,” tambahnya.(***)


Putus Sekolah Karena Tidak Mampu

Dengan langkah lunglai sambil memanggul karung setengah terisi di pundak kanan, Rusli (15) menuju rumahnya di Pegadingan, Kramatwatu. Di teras rumahnya, bocah kuyu ini membongkar isi karung. Satu per satu barang bekas dalam karung dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Kardus, plastik atom, dan besi dipisahkan.
Hari itu (28/08), Rusli tampak tidak puas dengan hasil buruannya. Maklum saja, karung yang dibawanya hanya terisi setengah. Padahal, sudah seharian ia berkeliling di kawasan Cilegon.
“Hari ini barang bekasnya sedikit, mungkin sudah keduluan orang lain (pemulung-red),” keluhnya, sembari mengipas-ngipas tubuhnya dengan secarik kertas.
Tampaknya, ia menunda menyetor barang buruannya ke lapak yang tidak jauh dari rumahnya. Pasalnya, jika dijual uang yang didapat sedikit. “Saya kumpulin dulu biar banyak, besok baru saya jual,” katanya.
Begitulah keseharian Rusli. Pekerjaannya ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari hasil jerih payahnya itu, ia dapat membantu orangtua dan tiga adiknya yang masih kecil.
“Saya jadi pemulung, karena tidak ada lagi yang bisa saya kerjakan. Ini saya lakukan untuk membantu keluarga, karena ibu saya hanya dagang kecil-kecilan,” ucapnya.
Sayangnya, Rusli kini tidak lagi bersekolah. Menurutnya, ia putus sekolah sejak lulus SD. Alasannya, orangtuanya tidak mampu membiayai biaya sekolahnya. Kini, ibunya hanya mampu menanggung biaya sekolah adik-adiknya yang masih SD.
“Bapak saya sudah tidak ada, penghasilan ibu tidak cukup untuk biaya sekolah. Mau tidak mau saya ngalah tidak melanjutkan sekolah,” ungkapnya.
Sebenarnya, pilihannya ini berat. Ia merasa iri melihat teman-teman sebayanya yang masih sekolah. Apalagi kelak persaingan hidup begitu ketat. Apalah arti ijazah SD saat ini. Bahkan, kini ia merasa malu menjadi pemulung, karena kerap dianggap remeh oleh orang. “Sebenarnya saya tidak mau jadi pemulung, abis sering diolok-olok sih,” tuturnya.
Ia memiliki angan-angan seperti kebanyakan anak-anak sebayanya yang memiliki cita-cita setinggi langit. Namun, cita-citanya tidak muluk, ia punya keinginan menjadi karyawan di sebuah perusahaan. “Kalau saya masih sekolah, saya mau menamatkan hingga STM. Setelah itu saya ingin menjadi karyawan di pabrik besar,” katanya.
Rusli hanya salah satu anak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja menjadi pemulung. Masih banyak anak yang seperti Rusli, khususnya di Serang. Walau pekerjaan memulung adalah pilihan yang mutlak, mereka memiliki cita-cita tinggi. Keberadaan mereka juga bermanfaat bagi masyarakat. Dengan memungut barang bekas, setidaknya kebersihan lingkungan terbantu, karena barang bekas yang tidak sedap dipandang mata dan tidak bermanfaat bagi masyarakat tidak menjadi sampah di lingkungan tempat tinggal masyarakat.(fauzi)

 

Setiap tahun, menjelang perayaan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, di sejumlah titik di Kota Serang dipenuhi penjual bendera. Seperti yang terlihat di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga). Di Ruas jalan tersebut sedikitnya ada sepuluh orang penjual bendera.
Bendera yang dijual ukurannya berbeda-beda. Ada bendera ukuran kecil yang biasa dipasang di kendaraan roda dua dan empat, ada juga bendera ukuran besar yang biasa dipasang di depan rumah atau perkantoran. Uniknya, yang berjualan bendera merak putih sebagian besar berasal dari luar Kota Serang.

Serang

Keberadaan penjual musiman ini ikut menyemarakan hari kemerdekaan RI, lantaran barang dagangannya menghiasi sisi jalan yang tadinya terlihat kosong melompong.
Namun, tidak ada yang menyangka kalau penjual bendera itu berasal dari luar daerah. Sebab logat bahasanya tidak jauh berbeda dengan logat masyarakat Serang. Bahkan, tak jarang penjual menimpali pembeli dengan bahasa Serang.
“Wih, Bendere sing ukuran sedeng mah, hargane 20 ewu pak, lamun 15 ewu meh kite lake untunge,” kata Nano (26), penjual bendera di jalan Yumaga Serang yang berasal dari Cirebon, saat melayani pembeli asli Serang yang kebetulan menggunakan bahasa setempat pula.
Menurut Nano, bahasa di tempatnya tinggalnya tidak jauh berbeda dengan bahasa Serang. Jadi, ketika ada pembeli yang berkomunikasi dengan bahasa Serang, ia tidak kesulitan mengartikannya. Bahkan, ia terlihat piawai meladeni pembeli dengan bahasa lokal. “Sama aja bahasanya dengan bahasa di tempat saya (Cirebon-red),” ungkapnya, saat santai ditempatnya jualan.
Bukan tak ada sebab Nano memilih Serang sebagai kota tempat berjualan bendera. Ia beralasan, berdasarkan informasi dari temannya, pedagang bendera di Kota Serang masih sedikit ketimbang kota lainnya. Kontan saja, ia langsung berjualan bendera walau hanya musiman.
“Saya tergiur dengan cerita teman-teman, kalau jualan bendera dapat untung lumayan, ketimbang berjualan sayur di tempat saya tinggal,” ucapnya. Dengan modal Rp 2 juta, Nano langsung membeli berbagai ukuran bendera di sentra pembuatan bendera di Cirebon. Menurut perkiraannya, jika terjual ¾ bendera yang terjual, ia akan meraup untung dua kali lipat. Namun, jika tidak banyak terjual, ia dapat mengembalikan kembali bendera yang dijajakan ke sentra tempat ia beli.
“Bendera yang saya jual nggak langsung dibayar, tapi dibawa dulu. Lalu disetor ke bos di Cirebon, sebanyak yang terjual,” katanya.
Selain Nano, ada lagi penjual bendera lainnya yaitu Sudono. Ia berjualan bendera dengan cara berkeliling menggunakan gerobak ke perumahan di kawasan Kramatwatu. Sudono juga mengaku tergiur berjualan bendera di Serang dari informasi temannya.
“Saya diajak teman berjualan bendera di Serang. Katanya sih bisa dapat untung besar. Ternyata benar, baru delapan hari jualan, sudah dapat untung lumayan. Sebentar lagi juga modalnya bisa ketutup,” ungkap Sudono berasal dari Cirebon.
Lain lagi dengan Didi Sardi (62), jualan pria asal Garut, Jawa Barat, tersebut sudah menghiasi Jalan Yumaga sejak 22 Juli silam. Ia sengaja memilih berjualan di sekitar Alun-alun dikarenakan lokasi tersebut merupakan area publik yang mudah terjangkau masyarakat. Didi pun mengaku tidak terlalu sulit mendapatkan pembeli. Namun amat disayangkan, menurutnya, naiknya BBM menurunkan daya beli masyarakat terhadap bendera.
“Alhamdulillah, walau pun pembeli perorangan nggak banyak. Saya dapat pembeli dari komplek-komplek. Mereka itu biasanya beli borongan. Ya mungkin saja buat ngehias gang-gang komplek biar tujuhbelasannya meriah. Sebagai pedagang musiman, saya seneng saja bisa ikut ngeramein,” tutur Didi sambil sesekali membenahi bendera dagangannya.
Soal lokasi, Didi merasa tidak ada masalah. Katanya, tidak ada persaingan untuk menempati lokasi-lokasi berjualan. “Saya jualan di sini dari pertama datang. Temen-temen yang lain juga gitu. Namanya juga usaha jadi pedagang musiman. Ya harus pinter-pinter cari kesempatan. Apalagi Serang ini sudah jadi kota besar dan maju,” tutur kakek yang sudah lima tahun menjadi pedagang musiman di Serang.
Meski menempati area strategis, untuk tahun ini Didi tidak menargetkan untung banyak. “Walaupun tempat di sini deket sama sekolahan dan kantor-kantor. Saya nggak kepikiran buat meraih untung banyak. Kata teman-teman, daerah ini strategis. Tapi saya nggak begitu yakin dapat untung besar. Saya mah hanya berusaha saja,” ungkapnya.
Beda lagi dengan Ian (30), meski sama-sama dari Garut, Ian lebih memilih berjualan di pinggir Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan RS Kencana Serang. Sebenarnya, Ian ingin berjualan di Jalan Veteran, namun beberapa lokasi di jalan tersebut telah ditempati pedagang lain sejawatnya. “Saya pinginnya jualan di sana (Jalan Veteran-red). Berhubung teman nyaraninnya jualan di sini, ya saya nurut saja,” kata Ian yang mengaku jadi pedagang musiman karena diajak teman.
Ian mengaku, tahun ini sepertinya keuntungan yang diraihnya jauh lebih sedikit. Salah satu penyebabnya adalah lokasi berjualan yang kurang strategis. Meski baru dua tahun menjadi pedagang musiman, tetapi Ian cukup fasih menyebut tempat-tempat strategis dalam berjualan. “Alun-alun dan depan Islamic Center itu tempat yang bagus. Karena banyak orang yang nongkrong di sana. Sore-sore banyak orang yang jalan-jalan di situ. Sayang kan kalo disia-siain,” katanya.
Karena itu, tahun ini Ian hanya menargetkan mencari pengalaman saja. Meski begitu untungnya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Garut.
“Ya mau gimana lagi. Saya kebagian di sini, ya saya harus ikutan juga. Tahun ini saya jadikan pengalaman saja,” tutur penjual sayuran di daerahnya itu.
Pemandangan yang tidak kalah meriah terlihat di kawasan Pasar Induk Rau (PIR). Sejak pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, pedagang bendera musiman telah menjajakan barang dagangannya. Bendera-bendera tersebut telah tersusun rapi, ada yang di gantung di tembok pembatas, ada juga yang memasang bendera di bambu, sehingga bendera tersebut berkibar saat ditiup angin. Pemandangan tersebut sudah terlihat satu minggu terakhir.
Kawasan PIR dijadikan lahan empuk bagi beberapa pedagang bendera musiman. Salah satu alasannya yakni kawasan PIR merupakan tempat yang sering didatangi banyak orang. Hal itu diyakini Rohman (22) dan Mail (19), dua pemuda asal Serang itu yakin lokasi yang ditempatinya akan meraup banyak keutungan. “Cari pelanggan itu susah. Makanya kita harus pinter-pinter cari ide, supaya dagangan kita banyak yang beli,” tutur Rohman.
Keduanya mengaku, tiap tahun ada saja order bendera kepada mereka. “Selain dari pembeli perorangan. Kita juga ngelayanin kalo ada yang pesan banyak. Hasilnya lumayan, bisa nutupin kalo lagi nggak ada yang beli. Dari pada kita nganggur di rumah. Lebih baik usaha kecil-kecilan seperti ini,” ungkap Mail. (***)


Komir, 30 Tahun Berjualan Bendera
Tak Pernah Berpindah ke Lain Tempat

Ada yang berbeda dengan penjual bendera di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga) Serang. Komir, pria usia 52 tahun ini, ternyata tidak pernah berpindah ke tempat lain. Sudah 30 tahun ia berjualan di samping SDN Koalisi Nasional.
“Mungkin sudah enak jualan bendera di sini (Yumaga-red), karena sejak dulu dagangan saya banyak yang terjual. Selain itu, saya juga sudah dikenal. Jadi buat apa pindah ke tempat lain,” katanya.
Lantaran sudah bertahun-tahun berjualan bendera di Serang, Komir hapal setiap sudut kota. “Saya mah sudah lama jualan di sini, sejak tahun 1978. Waktu itu, pasar Rau belum ada. Jadi setiap tempat di Serang saya hapal,” ucapnya, di sela-sela pekerjaannya sembari mengingat tahun-tahun ke belakang.
Alasan Komir memilih Serang sebagai tempat berjualan bendera menjelang 17 Agustus cukup sederhana. Di tempat ini masih terbilang sepi penjual bendera di banding kota lainnya. Sebut saja Jakarta, penjual bendera sudah banyak, sehingga dagangannya tidak banyak terjual.
“Sebelum di Serang, setiap tahun sengaja jualan di Jakarta. Tapi lama-lama nggak betah, karena banyak sekali penjual bendera di sana,” ungkapnya.
Meski begitu, selama lima tahun belakangan, Komir mengaku penjualan benderanya mulai menurun. Selain bukan benda sekali pakai alias awet bertahun-tahun, faktor lain adalah banyaknya penjual bendera di Serang.
Seiring dengan itu, Komir juga mulai memutar otak untuk menyiasati agar dagangannya tetap laku dan memperoleh untung besar. Ia memutuskan membuat bendera sendiri dengan membeli kain dan menjahitnya sendiri. “Sebelumnya saya ngambil bendera di agen yang ada di Cirebon,” ungkapnya.
Dengan membuat bendera sendiri, Komir mengaku mengeluarkan modal sebesar Rp 9 juta untuk 30 kodi berbagai jenis bendera, bambu, dan biaya transportasi dari tempat asalnya. Komir juga memperkirakan, jika benderanya terjual semua, ia memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp 6 juta.
“Dibandingkan jualan soto dan empal selama sebulan di sana (Cirebon-red), lebih besar keuntungan berjualan bendera. Padahal saya berjualan bendera sampai tanggal 17 mendatang, tidak sampai tiga minggu,” ucapnya.
Selama tiga minggu, ia mengaku tinggal sementara di tempat temannya yang berada di sekitar Pasar Induk Rau (PIR). Namun untuk biaya makan ditanggung sendiri. “Kalau nggak ada teman di sini, pengeluaran saya bisa gede,” katanya.
Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, biasanya empat hari menjelang perayan Agustusan tingkat penjualan benderanya akan meningkat. “Tahun kemarin saja saya kewalahan melayani pembeli. Makanya untuk tahun ini saya bawa anak paling kecil untuk mengantisipasi banyaknya pembeli,” tutur pria yang memiliki empat anak ini.
Dari bendera yang dijualnya itu, untuk bendera spion sepeda motor haragnya Rp 2 ribu, bendera ukuran 1 m x 70 cm harganya Rp 10 ribu, bendera ukuran besar harganya Rp 25 ribu, dan umbul-umbul beserta bambu dijual dengan harga Rp 20 ribu. Namun, tentu saja bukan berarti harga tersebut tidak bisa ditawar. “Pembeli biasanya nawar dulu sebelum membeli bendera. Kalau harganya cocok, ya saya jual,” pungkasnya. (fauzi)

 

Tidak ada yang menyangka jika Kecamatan Curug, Serang, akan berubah sedemikian cepat. Sekitar awal 2000-an, kawasan ini masih dikelilingi sawah dan kebun milik warga sekitar. Selain itu, kehidupan masyarakatnya pun masih agraris. Namun beberapa tahun setelah Provinsi Banten berdiri, kawasan ini berubah dengan cepat. Pemprov Banten mulai membangun pusat perkantorannya di Desa Sukajaya, Kecamatan Curug, Kota Serang, yang disebut Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Sayangnya, perubahan pembangunan secara fisik itu tidak dibarengi dengan perubahan kebiasaan warga yang kerap buang hajat di sembarang tempat alias dolbon.

Serang

Memasuki Desa Sukajaya di belakang KP3B, bisa dipastikan tercium aroma tak sedap yang menggangu indera penciuman. Setelah ditelusuri, aroma itu berasal dari lahan perkebunan. Ternyata, aroma itu berasal dari kotoran manusia yang berjajar tidak beraturan di kebun. Rupanya warga di kawasan ini masih suka buang hajat di kebun alias dolbon.
Jika dilihat sekilas, rata-rata rumah warga di Desa Sukajaya sudah permanen. Bahkan, banyak juga rumah yang sudah berlantai keramik. Tidak sedikit warga yang mempunyai kendaraan beroda dua dan empat. Namun, yang ironis, sebagian besar warga Curug ternyata tidak memiliki sarana mandi cuci kakus (MCK) di rumahnya.
Een (36), salah seorang warga, mengakui masyarakat di lingkungannya masih banyak yang belum memiliki WC. Jadi, kalau buang hajat, warga masih banyak yang melakukannya di kebun. “Di sini mah banyak yang buang air besar ke kebun. Apalagi kalo pagi-pagi,” katanya.
Meski begitu, Een dan keluarganya sudah meninggalkan kebiasaan itu. Pasalnya, Een sudah memiliki WC. Sebelumnya, Ia beserta keluarganya menganggap WC bukan termasuk kebutuhan pokok dalam hidup. Akhirnya ia memutuskan untuk membangun WC agar buang hajat tidak perlu bersusah payah di kebun. “Ternyata kalau nggak punya WC tuh susah sendiri kalau mau BAB (Buang Air Besar-red). Apalagi kalau siang hari. Mau ke kebun malu, kalau malam, saya agak takut, karena gelap,” akunya dengan tersipu malu.
Sebenarnya, menurut Een, warga di sekitar tempat tinggalnya bukan tidak mampu membangun MCK di rumah, namun karena sudah menjadi kebiasaan, mereka jadi enggan membangun WC. Menurutnya, dolbon lebih praktis ketimbang BAB di WC. “Waktu baru punya WC saya nggak biasa BAB. Malahan susah keluarnya. Tapi lama-lama biasa juga BAB di WC,” ungkapnya.
Selain itu, imbuh dia, saat ini lahan kosong yang biasa digunakan dolbon semakin sedikit. Karena sudah berdiri rumah para pendatang. ”Kalo kebun dan sawah sudah tidak ada, kita mau buang hajat dimana? Makanya mendingan bikin WC dari pada nanti repot,” ungkapnya.
Selain di Curug, kebiasaan dolbon juga terjadi di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Bedanya, mereka bukan buang hajat di kebun, tapi BABnay dilakukan di saluran irigasi yang sejajar dengan jalan raya yang melintas areal pemukiman.
Padahal, saluran irigasi itu dimanfaatkan juga untuk mandi, mencuci pakaian, serta mencuci bahan makanan yang akan di masak. Bahkan untuk minum, mereka mengambil dari saluran irigasi itu.
Yang lebih mencengangkan, jambangan (tempat buang hajat di kali-red) yang dibangun, berada tidak jauh dari aktivitas sehari-hari. Tampaknya mereka tidak merasa risih bebersih di saluran irigasi yang sekaligus digunakan buang hajat. Mereka juga terlihat tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan.
“Enakan mandi di kali, airnya adem. Kalau kotoran manusia yang dibuang ke kali pasti akan mengalir, nggak diam di situ. Jadi ngapain takut cuci baju, ngambil air untuk diminum ya di sini,” ungkap Sutihat yang sedang sibuk mencuci beras di saluran irigasi itu.
Masih menurut Sutihat, untuk BAB nyaman dilakukan di jambangan ketimbang di WC. Padahal di rumahnya,ia memiliki WC. “Paling WC dipake buat tamu yang datang,” katanya.
Sutihat tidak mempersoalkan kebiasaan buang hajat di kali yang kerap digunakan keperluan sehari-hari dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti muntaber dan diare. Baginya melakukan aktivitas sehari-hari sangat bergantung pada saluran irigasi itu.
“Orang-orang di sini sudah biasa nyuci atau BAB di kali, tapi tidak ada yang sakit-sakitan,” tuturnya.
Warga Desa Lebak Kepuh, Kecamatan Pontang, juga masih banyak yang dolbon. Menariknya, kebiasaan dolbon di Desa Lebak Kepuh bukan karena tidak punya WC. Sebagian besar warga Desa Lebak Kepuh mempunyai WC. Namun warga Desa Lebak Kepuh belum mampu menghilangkan kebiasaan buang hajat di kebun.
Seperti yang dikatakan Nasrul (25) salah seorang warga Desa Lebak Kepuh. Menurutnya, alasan melakukan dolbon adalah karena lebih enak dan praktis. Selain itu, dolbon juga bisa dilakukan berkumpul dengan yang lain sambil berbincang. “Enakan buang air di kebon atau sawah, karena praktis. Nggak usah nyiram-nyiram air untuk membersihkan kotoran kita seperti di WC, cukup ditinggal saja,” ungkapnya.
Rupanya, dolbon memang sudah menjadi kebiasaan di beberapa tempat di Serang. Bahkan kebiasaan itu tidak mudah untuk diubah. Seperti yang diucapkan Memet Slamet Riyadi, Kasi Kesehatan Lingkungan Dinkes Kabupaten Serang.
“Dolbon itu susah diubah karena warga Serang memiliki kebiasaan BAB di sembarang tempat. Harus diubah secara bertahap,” katanya.
Berdasarkan pemetaan wilayah Kabupaten/Kota Serang, warga yang memiliki sarana MCK baru mencapai 40 persen pada 2007/2008. Selain faktor kebiasaan, hal yang menyebabkan kecilnya persentase warga memiliki MCK, disebabkan minimnya tingkat pendidikan. Sehingga kesadaran akan pentingnya MCK kurang. “Mereka yang masih dolbon sebenarnya kurang kesadaran akan pentingnya MCK. Ditambah lagi tingkat pendidikan yang masih rendah,” ucapnya.
Untuk menciptakan kesadaran warga tentang pentingnya MCK, Dinkes Kabupaten Serang telah melakukan pelatihan dan penyuluhan kepada seluruh puskesmas untuk merangsang kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi yang baik. “Beberapa waktu lalu, kami undang beberapa puskesmas yang masyarakatnya masih banyak dolbon. Selanjutnya, puskesmas tersebut yang menyampaikan ke masyarakat, tentang akibat yang disebabkan dolbon,” tuturnya.
Untuk pengadaan MCK, imbuhnya, Dinkes Kabupaten Serang sudah tidak melakukannya. Hal itu sudah diserahkan ke Dinas Pekerjaan Umum (DPU) berdasarkan Peraturan Dalam Negeri No.13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. “Saat ini, kami hanya melakukan penyuluhan saja,” ucapnya.
Di tempat berbeda, Solihin, trainer yang kerap diundang instansi-instansi swasta, negeri, maupun internasional yang konsen menyoroti masalah ini mengatakan, untuk memicu kesadaran warga tentang tidak baiknya dolbon, mesti dilakukan pendekatan yang baik. Pendekatan yang tidak menggurui dan memaksa. Sehingga warga memahami permasalahan itu.
“Pendekatan ini dilakukan untuk memicu rasa jijik, malu, harga diri yang rendah, kenyamanan, keamanan, dan takut yang dimaksudkan agar masyarakat timbul kesadaran dan meningkatnya kesadaran untuk memiliki jamban sendiri tanpa dibantu orang lain,” ungkap Solihin.
Ditambahkan, dengan pendekatan ini, di Pandeglang telah berdiri sebanyak 2.900 jamban dalam kurun waktu satu tahun. “Pada 2006 lalu, lembaga Project Concent International (PCI) melakukan pendekatan CLTS di 5 kecamatan di Pandeglang. Secara bertahap ada hasil yang memuaskan,” katanya. (***)

 


Padi Terancam Puso, Warga Kesulitan Air Bersih


Hawa panas begitu menyengat. Kemarau panjang tiba. Di beberapa sungai, debit air turun drastis. Akibatnya, areal persawahan menjadi kering, padahal musim panen sebentar lagi tiba. Wajah petani terlihat resah lantaran sawahnya terancam puso alias gagal panen. Tak hanya itu, warga di beberapa daerah juga kesulitan mendapatkan air bersih. Begitulah gambaran musim kemarau yang terjadi beberapa bulan ini.


Dari kejauhan sawah terbentang luas seperti di Kramatwatu, Serang. Persawahan itu tampak hijau bak permadani. Namun, bila dilihat dengan seksama, kondisi sesungguhnya tidak demikian. Tanaman padi yang disemai petani beberapa bulan lalu, tampak kekeringan. Bahkan di beberapa bagian areal sawah itu tanahnya terlihat retak-retak, sebesar piring berukuran besar.
Kendati begitu, aktivitas petani masih terlihat. Ada yang menunggu sawah, ngoyos alias menyabuti rumput liar, ada yang sedang mengairi sawah dengan menyedot air dari saluran irigasi menggunakan mesin diesel, ada juga yang sekadar duduk-duduk sambil mengisap rokok.
Namun, di balik semua itu, tersimpan rona keresahan di wajah mereka karena terbayang oleh kegagalan panen. Selain memikirkan kebutuhan hidup sehati-hari, mereka juga memikirkan modal yang sudah dikeluarkan. “Pusing, musim panas sekarang mah kayaknya bakalan lama. Kalau sudah begini, saya jadi takut gagal panen,” ucap Saefudin (50), penggarap sawah di Dermayon Kramatwatu, Kabupaten Serang.
Saefudin menuturkan, kemarau tahun lalu, saluran irigasi yang tak jauh dari sawahnya itu biasanya dialiri air yang cukup mengairi sawah garapannya. Namun, sekarang air yang ada di saluran irigasi itu hanya sedikit. Bahkan untuk mengalirinya harus dibantu mesin diesel. Selain itu, untuk mengairi sawah harus berebut dengan penggarap lain. “Kalau irigasi sudah kering, untuk mengairi sawah harus bergantian. Bahkan dibuat jadwal. Yang penting sawah kita tidak terlantar.” katanya.
Untuk mengairi sawahnya, Saefudin harus rela mendapat jadwal malam hari. Untuk mendapat jatah air, dia juga kerap mengeluarkan ongkos Rp 50 ribu untuk membayar ulu-ulu alias pejabat desa yang mengatur pembagian air dari saluran irigasi. Selain itu, dia juga harus mengeluarkan kocek besar untuk biaya bahan bakar diesel. “Yah mau nggak mau harus ngeluarin duit, namanya juga demi air. Kecuali kalau irigasinya banjir, kita nggak perlu begini,” ujarnya.
Berbeda dengan Saefudin, kondisi sawah milik Kamsi (45) di Dermayon Kramatwatu lebih mengenaskan. Hasil pantauan Radar Banten, tanah sawah yang dimilikinya retak-retak, padinya pun terlihat sangat kering, bahkan hampir mati kekurangan air. Dengan kata lain, sawah milik Kamsi gagal panen.
Pria asal Indramayu, Jawa Barat, itu pun sekarang tinggal meratapi nasibnya. Karena dalam proses awal tanam kemarin dia sudah banyak mengeluarkan uang. Dimulai dengan pembelian bibit, pupuk, bayar orang membantu menggarap, sampai proses pengairan sawah, Kamsi sudah mengeluarkan kocek sebesar Rp 5 juta untuk tiap hektarnya. Belum lagi biaya mengairi air ke sawahnya yang menghabiskan 50 liter solar sehari. Bisa terbayang, berapa kerugian yang diderita Kamsi akibat gagal panen itu.
Saat ini, dia hanya berupaya menyelamatkan sisa sawahnya yang masih bisa terselamatkan. Walau dibenaknya dijejali masalah kerugian. Namun, dia terus berusaha sekuat tenaga tetap bertahan menyelamatkan yang ada. ”Kemarau ini merupakan kemarau terberat selama saya menjadi petani,” ucap Kamsi.
Menurut Saefudin atau Kamsi, mengeringnya saluran air irigasi, selain kemarau panjang juga diakibatkan adanya instalasi pompa PDAM di saluran induk kiri bendungan Pamarayan yang melintas kearah barat Serang yang menghalangi air masuk aliran irigasi. Akibatnya, air tidak sampai mengalir ke persawahan. Lebih-lebih yang sawahnya berada jauh dari saluran irigasi. “Keringnya irigasi juga gara-gara PDAM yang ngehalangin air irigasi sawah. Sekarang mah cuma bisa berharap sama pemerintah agar menanggapi nasib kita agar dapat mengatasi kekeringan ini,” kata mereka kompak, sambil berceloteh kapan hujan turun.
Di tempat terpisah, Dirut PDAM Kabupaten Serang Joko Sutrisno membenarkan bahwa air baku PDAM diambil dari saluran irigasi. Tapi debit air yang diambil hanya sedikit sekali. “Kita hanya membutuhkan sedikit dari 1 meter per kubik yang mengalir di irigasi. Permasalahannya, debit air yang kurang akibat musim kemarau ini. Bukan karena instalasi pompa milik PDAM,” ucapnya, saat ditemui Radar Banten di tempat kerjanya Selasa (15/7).
Hal ini juga sesuai dengan data UPTD Bendung Pamarayan, di mana debit di saluran induk kiri-untuk kecamatan Kramatwatu, Tirtayasa, Pontang, menurun dari 18 meter kubik per detik menjadi 8,64 meter kubik per detik. Sedangkan debit di saluran induk kanan -untuk Kecamatan Cikande dan Carenang- menurun dari 4 meter kubik per detik menjadi 1,85 meter kubik per detik. Hal ini disebabkan tidak turun hujan di hulu sungai Ciujung di Kabupaten Lebak. Selain itu, sedimentasi (pendangkalan) tinggi di udik Bendung Pamarayan juga ikut andil menurunnya debit air di saluran induk ini.
Selain petani, warga Serang dan sekitarnya juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih. Mulai dari konsumen air bersih yang dikelola pemerintah, pengguna pompa air, hingga pemakai sumur mengeluhkan kondisi kemarau yang terjadi.
Seperti yang diberitakan di beberapa media surat kabar lokal, sudah seminggu ini konsumen perusahaan air minum (PAM) mengeluh karena kesulitan mendapatkan suplai air yang sudah menjadi hak mereka sebagai konsumen. ANtara lain Aam (54), ibu rumah tangga warga Cimuncang, Serang, yang sudah lama menjadi konsumen PDAM. Ia bercerita, setiap hari keluarganya rela begadang menunggu air bersih. Sedikit demi sedikit air dikumpulkan dan ditampung dalam bak berukuran besar untuk dipergunakan keperluan sehari-hari. Rasa lelah dan kantuk ia lawan demi mencukupi kebutuhan air untuk keluarganya. “Kalau nggak gini kita gak bakalan dapat air, masa besok gak mandi sih,” ungkapnya sambil menghela napas panjang.
Kesulitan air pun dirasakan warga yang menggunakan mesin pompa air. M Nursoleh (37) yang tinggal di Cimuncang, mengungkapkan, untuk memenuhi tangki penampungan air yang dimilikinya, dibutuhkan waktu 3 jam. Padahal, dalam keadaan normal, untuk memenuhi tangki hanya membutuhkan waktu setengah jam. itu pun ia lakukan pada saat malam hari, karena jika menyedot air dilakukan siang hari, air yang keluar sedikit.
Hal serupa terjadi di RW 03 Lingkungan Pasar Lama, Kelurahan Lontar, Baru Serang. Sebagian warga Pasar Lama kini mengkonsumsi air sumur yang ada di kali Banten. Dua kaleng harganya Rp 3 ribu. Air tersebut digunakan untuk memasak. Sedangkan untuk mandi, sebagian warga melakukannya di sepanjang kali Banten.
“Mau bagaimana lagi. Kondisinya sudah seperti ini. Sekarang, air PDAM sudah tidak ada. Untuk membuat sumur bor dan memasang sanyo atau jetpump tidak punya biaya. Jadinya seperti ini,” ujar Sopan.
Untuk itu, ia berharap pemerintah Kota Serang segera mengantisipasi musim kemarau tahun 2008 ini. Jika musim kemarau ini cukup panjang, air kali Banten pun semakin kering. Akibatnya, imbuh dia, warga pun akan kesulitan mendapatkan air.
“Kalau air kali Banten kering, kami tidak bisa mandi. Jadi lebih susah dong,” tambahnya. (***)

 


Lahan Pertanian Habis, Kini Jadi Buruh Pabrik


Selama ini, masyarakat melihat warga keturunan sebagai orang kaya. Pekerjaan yang dilakukan biasanya berdagang dan mempunyai toko. Namun tidak demikian dengan warga keturunan di sebuah kawasan di Tangerang. Mereka malah terlihat akrab dengan pertanian dan pekerjaan kasar lain. ‘Cina Benteng’, begitu mereka disebut, berkulit hitam atau gelap.


Sewan, tak berbeda dengan perkampungan pada umumnya, yang secara administratif masuk kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Hari, suasananya tampak begitu lengang seperti daerah yang terpinggirkan. Kegiatan perekonomian pun hanya terlihat begitu sederhana. Itu terbukti dari perdagangan yang berlangsung di sana, seperti pedagang sayur, pengayuh becak, pedagang minuman keliling, pengumpul barang bekas, tambal ban, dan sebagainya.

Namun, bila dilihat lebih seksama, penduduk kawasan ini lebih dominan dihuni oleh warga keturunan, yang kerap disebut ‘Cina Benteng’ oleh pribumi sekitar. Bahkan, pribumi di luar Tangerang pun menyebutnya demikian. Bahasa yang dipakai pun, bukan bahasa nenek moyang, tapi menggunakan bahasa melayu, sunda atau betawi yang cukup kental.

Rumah-rumah di Sewan begitu sederhana. Hanya ada beberapa rumah yang sudah berkeramik dan bercat berwarna-warni dan berlantai dua. Sisanya, rumah gedeg alias temboknya memakai anyaman bambu.

Bila dilihat secara seksama, kebanyakan rumah di kawasan ini memiliki arsitektur unik layaknya rumah orang keturunan tionghoa. Pintu yang terletak di tengah selalu diapit oleh dua jendela di sisi kanan kirinya. Di setiap kusen, baik jendela maupun pintu yang menghadap keluar, kadang berhiaskan banyak tulisan berupa sajak yang dalam bahasa Cina disebut "TUILIAN". Selain itu, masih ada buah pena lain yang biasa ditulis dengan menggunakan Tinta Cina yang dibubuhkan di atas kertas merah atau kuning yang disebut "HU" atau kertas izim yang berfungsi sebagai penolak bala.

Semakin ke dalam, suasana khas Tiongkok kian terasa. Sebuah meja berwarna abu-abu yang biasa disebut altar dengan pemandangan beberapa "HIOLOU" atau tempat menancapkan dupa terlihat berderet rapi. Tak lupa, di belakang hiolou berjejer foto-foto orangtua atau saudara-saudara mereka yang telah meninggal dunia.

Suasana perkampungan semakin dipertegas dengan suara hewan peliharaan seperti ayam dan kambing yang berseliweran. Kawasan ini layaknya pedesaan, padahal letaknya tidak begitu jauh dari pusat perkotaan yang berstatus penyangga ibukota ini. Bila ditilik, kira-kira jarak dari pusat Kota Tangerang sekitar 5 kilometer.

Kehidupan mereka rukun, saling membaur dengan pribumi. Itulah gambaran Cina Benteng yang bernenek moyang dari Hokkian yang datang 300 tahun silam, di Sewan.

Meski banyak versi kenapa mereka disebut Cina Benteng, namun, sejarah menyebutkan sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng, Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "Cina Benteng".

Bertani Sebagai Pilihan Hidup
Memang benar, warga Cina Benteng memenuhi kehidupannya dengan cara bekerja yang jauh dari warga keturunan pada umumnya. Mereka lebih suka bertani daripada berniaga atau membuka usaha lainnya. Salah satu alasannya, karena daerah Sewan merupakan daerah pertanian, sehingga tak heran mayoritas penduduk di sini memilih bertani sebagai pekerjaan, selain karena faktor pendidikan yang minim.
“Kalu saya sih pernah menjalani pekerjaan apa saja, dari mulai bertani, dagang, bengkel becak pernah saya lakuin. Yang penting bisa bertahan hidup, dan nggak ngambil hak orang lain,” terang Tan In Hong (71), warga Lebak Wangi, Sewan. Ia juga mengenang dahulu kawasan Sewan masih banyak sekali lahan pertanian yang digarap oleh Cina Benteng. “Tapi sekarang lahan itu telah habis, berubah menjadi pabrik-pabrik besar,” ujar Tan.
Dampak berdirinya pabrik-pabrik itu, secara otomatis mengubah mata pencaharian para warga keturunan. Yang semula bertani, kini menjadi buruh pabrik di area sekitar. “Anak-anak saya lebih senang bekerja di pabrik ketika lulus sekolah, karena selain mendapat penghasilan yang cukup lumayan, juga tidak perlu bersusah payah dalam menggarap sawah,” lanjut Tan bercerita.
Kong Cing Eng (65), salah satu pemerhati budaya Tiong Hoa di Tangerang mengatakan, di kawasan Sewan hingga Kampung Melayu, Tangerang, secara geografis memang banyak sekali lahan pertanian karena keadaan tanah yang bagus dan didukung saluran irigasi yang baik. “Dari situlah warga Cina Benteng yang dahulu mengungsi pada zaman penjajahan memanfaatkan lahan yang ada dengan bertani, hingga menjadi sebuah mata pencaharian,” ujar pria paruh baya ini.
Masih ada beberapa profesi yang dijalani warga Cina Benteng untuk bertahan hidup. Karena letak kawasan yang cukup dekat dengan tempat pembuangn akhir (TPA) Rawa Kucing, maka tak sedikit warga benteng di sekitar yang menjadi pengumpul barang bekas.

Ketaatan Beragama
Kehadiran warga Cina Benteng di Tangerang beberapa abad silam, diikuti hadirnya sejumlah klenteng dan vihara yang merupakan tempat beribadat mereka. Di kawasan Sewan saja berdiri dua klenteng, yaitu Klenteng Mahabodhi atau Tjong Tek Bio dan Vihara Sad-sadha Kusala Ratna yang merupakan tempat kebaktian umat Budha dan krematorium. Selain itu beberapa vihara masih bertengger kokoh di beberapa kawasan. Antara lain di Pasar Baru Tangerang, berdiri Vihara Boen San Bio yang dibangun pada 1689, atau yang paling tua terletak di kawasan Pasar Lama, yaitu Vihara Boen Tek Bio yang dibangun pada 1684.
Kong Cing Eng bercerita, bukti ketaatan warga Cina Benteng beragama adalah dengan masih terawatnya beberapa klenteng dan Vihara. “Ketaatan mereka dibuktikan dengan selalu beribadah setiap minggunya, atau bahkan jika mereka memiliki suatu keinginan, mereka bersembahyang dan meminta keinginannya dikabulkan. Setelah terkabul, biasanya mereka datang membawa barang untuk keperluan vihara,” ujar Cing Eng.
Selain itu, mereka juga masih menjalankan berbagai tradisi keturunan seperti Imlek, Cap Go Meh, bahkan memainkan beberapa kesenian tradisional Tiongkok seperti gambang kromong. (*)

 


Rela Begadang Demi Tim Kesayangan


Gol!!!! Teriakan penonton membahana ketika sedang nonton bareng (nobar) Euro 2008 antara Portugal vs Ceko. Kontan saja mereka bersorak, bertepuk tangan, dan melompat-lompat menyambut datangnya gol. Bahkan para penonton itu mengelu-elukan pemain yang berhasil menjebol gawang lawan.


Sejak pembukaan pada Sabtu (7/6) lalu, seluruh mata di dunia tertuju pada even sepak bola bergengsi di daratan Eropa. Para penggila bola saling menjagokan tim/negara yang bertanding. Walau jauh dari tempat berlangsungnya Euro 2008 di Austria-Swiss, namun demam Euro juga melanda masyarakat Indonesia. Euphoria itu ditandai dengan nonton bareng (nobar) di berbagai tempat seperti gardu siskamling di kampung-kampung, warung-warung pinggir jalan, hingga kafe-kafe. Semuanya tidak mau ketinggalan menonton pesta sepak bola negara Eropa yang berlangsung setiap empat tahun sekali ini. Remaja, pemuda, pedagang kaki lima, sampai manula. Semuanya tidak mau ketinggalan menonton nobar.
Seperti di Serang, walaupun hanya menggunakan televisi 14 inci, kemeriahan dan suasana nobar tetap memiliki kehangatan tersendiri. Padahal pertandingan digelar tengah malam, namun rasa dingin yang menusuk tak menyurutkan niat masyarakat pergi ke gardu-gardu siskamling dan warung-warung kopi. Mereka mengaku rela keluar rumah selain menjaga keamanan lingkungan, juga untuk nobar bersama warga lainnya. “Lebih enak nonton bareng di sini, selain meriah nontonnya juga bisa teriak-teriak sambil menikmati kopi,” ungkap salah satu warga ketika nobar di salah satu warung pinggir jalan di kawasan Ciceri Serang.
Namun jika nobarnya ingin lebih nyaman, datang ke kafe. Suasananya lebih santai. Pengunjung bisa memesan minuman atau makanan untuk teman nobar. Sayangnya tidak semua kafe manyelenggarakan nonton bareng, hal itu dikarenakan perizinannya rumit. Bila tidak ada izin, maka akan dikenakan denda lumayan besar.
Tak ada layar lebar, kemegahan suara, yang ada hanya televisi biasa untuk ditonton. Seperti yang terlihat di Kafe Optima Serang, sejak pembukaan Euro pada Sabtu malam lalu, tempat ini didatangi masyarakat untuk menyaksikan laga perdana antara Swiss melawan Ceko. Walau pun hanya disediakan televisi flat berukuran 29 inci, tapi pengunjung setia kafe ini tetap datang menyaksikan pertandingan setiap malamnya.
“Kami sih nggak ngadain even nobar, karena harus bayar royalti yang tidak sedikit kepada stasiun tv. Maklum lah omzet kami belum seimbang dengan bayar perizinan siaran. Tapi karena di sini (kafe-red) nyediain tv dan kebetulan ada Euro, ya otomatis yang kita tonton pertandingan bola. Lagian itu juga permintaan konsumen yang setiap malam nongkrong di sini,” tutur pengelola kafe Optima Deni.
Berbeda dengan kafe Optima di Serang, D’Bratta Kafe Cilegon sengaja mengadakan nobar dengan tv berukuran 20 inch, sejak pembukaan Euro pada pekan lalu. Kontan saja, walau tidak begitu ramai, suara pengunjung yang bersorak-sorai juga menggema di sini.
Menurut pengelola D’Bratta Kafe Cilegon Deden, nobar bakal lebih meriah saat Euro memasuki putaran ke-2. Untuk itu, dia juga akan menyiapkan 2 layar besar untuk memanjakan pengunjung yang datang menyaksikan Euro. “Itu baru rencana, karena saat final liga Champion, kami menyediakan layar besar dan pengunjungnya banyak. Makanya melalui momen Euro kita mau mengulang sukses,” ungkapnya
Masyarakat yang melakukan nobar seolah tak peduli dengan kegiatan yang dijalani keesokan harinya. Mulai dari pegawai kantoran hingga mahasiswa rela menonton pertandingan, dan merasa tidak terganggu untuk menjalani aktivitas esok hari. Seperti yang diutarakan Ipul warga Cilegon. Meski keesokan harinya harus bekerja tapi dirinya tetap ikutan nobar bareng teman-temannya. “Kalau soal kerjaan saya nggak keganggu, karena itu udah kewajiban. Untuk nobar sendiri, walaupun saya nggak begitu sering, tapi ikutan nobar punya keasikan, selain bisa kumpul bareng teman-teman juga lebih tegang nontonnya,” ucap Ipul ketika Nobar di D’Bratta Kafe Cilegon.
Tak hanya kafe atau pos siskamling, nobar juga terlihat meriah di tempat kos mahasiswa. Tak hanya tempat kos putra, tempat kos mahasiswa putri yang berada di kawasan Ciceri Serang juga tidak melewatkan pertandingan Euro.
Walau pertandingan Portugal vs Ceko belum dimulai saat itu, mereka sudah stand by menunggu kedua tim tersebut bertanding. Lalu, saat pertengahan pertandingan, saat salah satu tim nyaris menciptakan gol, sorak-sorai terdengar membahana di tempat itu. “Yah…nggak gol. Hampir aja, kalo nendangnya bener,” teriak mereka, dengan mimik wajah penuh kecewa.
Sejak Euro dimulai, mereka memang sengaja mengagendakan untuk nobar, walau keesokan harinya harus kuliah, “Sejak hari pertama, disini (kosan-red) selalu nobar, walau pun tim yang bertanding nggak kita dukung. Kalo kuliah sih nggak terganggu tuh,” ungkap penghuni kos yang tercatat sebagi mahasiswa STIKOM Wangsa Jaya Banten Desy Natalia.
Kata Desy, kebanyakan mahasiswa yang ngekos di tempat itu hanya belasan mahasiswa dan semuanya penggila bola. Jadi sangat wajar kalau momen Euro dijadikan ajang nobar. Namun, diantara mahasiswa yang gila bola, ada juga yang tidak menyukai sepak bola yang ikutan nimbrung. “Temen-temen yang nggak suka ama bola juga pada ikutan nobar. Malahan mereka ikut mencak-mencak, kalau tim yang dijagoinnya ngegolin,” ujarnya.

Ajang Taruhan
Tak dapat ditutupi bahwa setiap perhelatan sepak bola baik itu liga Champion, piala dunia, maupun Euro selalu saja ada para penggila bola yang melakukan taruhan. Entah itu berupa taruhan uang, barang atau taruhan secara serua-seruan, misalnya melakukan sesuatu. Bahkan sejumlah tukang becak di kawasan Cimuncang Serang melakukan taruhan dengan penempatan posisi becak pada keesokan harinya, serta pembagian penumpang. “Di sini mah taruhannya, siapa yang menang, besok nempatin tempat pertama dan paling depan di pangkalan. Jadi bisa dapet lebih banyak penumpang,” ujar Mang Irin salah satu tukang becak yang menyaksikan Euro.
Berbeda yang diutarakan Ipul, karyawan salah satu perusahaan swasta di Cilegon ini melakukan taruhan dengan taruhan makanan atau taruhan melakukan sesuatu. Misalnya membeli makanan, memijat, dan sebagainya. Taruhan uang pun menjadi ajang mencari tambahan yang bisa menghasilkan, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Nasmal (24) warga Cilegon, selalu melakukan taruhan bola dengan teman-temannya, tapi dirinya tidak melakukan nobar. “Saya taruhan hingga ratusan ribu, tapi hanya nonton di rumah, dan perjanjian taruhannya melalui telepon. Ya biar lebih seru, dan sekaligus dapat duit, khan lumayan!!” papar pria berperawakan tinggi ini. (*)

 



Meraup Rezeki di Antara MTQ dan Pilkada

Sejak beberapa bulan lalu, Kota Serang dihiasi berbagai banner, baligo, spanduk, poster maupun umbul-umbul dari para calon walikota (cawalkot) yang bakal mengikuti bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Agustus mendatang. Selain itu, MTQ Nasional ke-22 yang digelar di Kota Serang juga tidak ketinggalan menggunakan media tersebut untuk menyosialisasikannya. Secara kasat mata, penggunaan media luar ruang ini menggemukan percetakan di Serang karena kebanjiran order dari dua momen tersebut. Benarkah begitu?


Sedari pukul 08.00 WIB, pada Kamis (5/6), parkiran di salah satu percetakan di Serang dipenuhi kendaraan roda dua dan roda empat. Pemilik kendaraan itu hendak memesan poster, umbul-umbul, banner, maupun spanduk. Ada yang datang secara individu dan ada juga utusan lembaga. Pada umumnya, kedatangan mereka untuk memesan keperluan publikasi, baik untuk sosialisasi cawalkot atau untuk sekedar ikut berpartisipasi menyukseskan MTQ. Bahkan ada juga yang memesan untuk keperluan usaha, seperti faktur atau nota. Mereka rela menunggu, walau percetakan yang dituju belum menunjukan kesibukannya.
Selang beberapa saat kemudian, percetakan tersebut sudah menunjukan kesibukannya. Pekerja percetakan bersiap-siap memulai pekerjaannya. Mereka menempati posisi masing- masing. Seperti pekerja yang bertugas menyeting desain, duduk di depan komputer di ruang setting, dan pekerja bagian finishing bersiap-siap di depan mesin cetak, menerima desain yang siap dicetak di ruangan yang berlainan.
Lalu, salah satu pekerja membuka koridor pintu, mempersilakan pemesan yang sudah menunggu untuk memesan keperluan mereka. Otomatis, para pemesan menyesaki ruangan setting yang berfungsi juga sebagai ruangan untuk memesan order kepada pekerja yang bertugas mencatat penerimaan order. Setelah sepakat, pemesan memberikan konten spanduk yang sudah ditulis di secarik kertas, atau logo yang tersimpan di flashdisk, sembari menerangkan tata letaknya kepada pekerja yang bertugas.
“Letak tulisan yang ini di tengah atas mba, kalau yang bawah letaknya agak di kanan aja. Dan logonya ada di kiri atas ya mba!,” tutur salah satu pemesan.
Dua momen tersebut rupanya percetakan kebanjiran order. Hal itu dibenarkan salah satu pekerja di salah satu percetakan di Serang. Menurutnya, saat ini banyak order untuk keperluan MTQ atau cawalkot yang akan mengikuti pilkada. Tapi pemesanan bukan datang dari pelanggan tetap. “Kebanyakan untuk pemesanan keperluan dua momen tersebut bukan datang dari pelanggan tetap,” ungkapnya, sambil menerangkan kebanyakan pemesan memesan banner atau stiker.
Hal yang sama juga dirasakan pengelola sayuti.com yang terletak di Jl. Trip Jamaksari Ciceri Serang Ahmad Sayuti. Menurutnya, order dari MTQ dan cawalkot datang sejak dua bulan lalu. “Sejak dua bulan lalu banyak order untuk MTQ dan cawalkot. Kebanyakan untuk MTQ datang dari perseorangan, karena MTQ yang megang bukan pimpro penyelenggara. Sedangkan untuk pemesanan banner cawalkot biasanya yang datang tim suksesnya,” katanya, sambil bercerita setiap harinya sayuti.com mendapat order rata-rata 10 spanduk untuk dua momen tersebut.
Namun, menurut Sayuti, saat ini belum dibilang banjir order, karena order untuk MTQ pemesanannya bukan secara besar-besaran, melainkan individu. Selain itu, Pilkada juga masih lama penyelenggaraannya. “Kemungkinan banjir order saat mendekati Pilkada karena cawalkot sudah mendapatkan nomor urut. Pasti mereka lebih banyak memerlukan spanduk atau stiker untuk lebih dikenal masyarakat,” ucapnya.
Dia juga mengaku, jika beberapa bulan mendatang kebanjiran order, pihaknya tidak menambah jumlah karyawan, karena sudah menambah karyawan sejak awal. “Saya sudah nambah karyawan, bukan karena akan kebanjiran order tapi memang karena kebutuhan. Tapi nggak nutup kemungkinan nambah karyawan kalau ordernya memang benar-benar banjir, paling satu atau dua karyawan,” tutur Sayuti disela-sela pekerjaannya yang sedang menerima order dari pemesan.
Tak hanya keperluan Pilkada, jika pemesan mencetak dalam partai besar, sayuti.com kerap memberikan potongan harga. “Untuk siapapun, kalau pemesanan dalam jumlah yang banyak, kita kasih diskon hingga 30 persen,” tambahnya.
Hal serupa dirasakan CV Suhud Mediapromo, penyedia jasa percetakan yang terletak di Jln Amin Jasuta Lontar Brimob, Serang ini kebanjiran order membuat berbagai spanduk dan baligo.
Sejak dua bulan terakhir, tempat tersebut disibukkan dengan order-order MTQ dan Pilkada. Saking banyaknya order yang masuk, pihak menajemen bertindak cepat. Supaya tidak keteteran dalam pengerjaannya, CV yang telah berdiri sepuluh tahun lebih ini mau tidak mau harus menambah tenaga kerja. Namun status mereka hanya sementara alias kontrak. “Kita mempekerjakan mereka tujuannya memberikan kesempatan kerja. Dari pada menganggur lebih baik diperbantukan untuk menyelesaikan order kita,” ungkap pemilik percetakan Andi S Trisnahadi.
Mesin cetak digital yang dimiliki Suhud Mediapromo tidak henti-hentinya bergerak. Siang malam, mesin yang memiliki panjang sekitar lima meter itu terus bergerak memenuhi target pesanan. Bayangkan saja, dalam sehari, mesin print berukuran raksasa itu bisa menghabiskan kurang lebih sepuluh liter tinta. Hal tersebut, dirasakan Andi, tidak jadi masalah serius. Sebab dirinya pun ingin menyukseskan penyelenggaraan even MTQ maupun Pilkada. “Selama para relasi masih percaya pada kita. Ya harus kita dukung juga dengan kemampuan yang maksimal,” lanjut Andi.
Andi menambahkan, untuk permintaan order MTQ ini, yang paling banyak memesan masih sekitar partner atau relasi sebelumnya. Di antaranya ada provider kartu seluler, bank swasta, bank pemerintah, dan ada beberapa relasi lama. “Rata-rata mereka (relasi-red) memesan baligo atau spanduk,” kata Andi.
Sontak saja, omset yang diraup Suhud Mediapromo naik hingga 50 persen dari hari biasa. Namun, Andi tidak menyebutkan berapa banyak yang telah perusahaannya dapat dari orderan tersebut. “Yang pasti kita bisa memberikan pekerjaan buat yang nganggur, walaupun bentuknya freelance. Kita juga senang mendapat kepercayaan lagi dari pelanggan kita.
Walau begitu, tidak semua percetakan merasakan banjir order dari momen MTQ dan Pilkada. Seperti yang dirasakan salah satu percetakan yang berada di daerah Ciceri. Pengelola yang tidak mau disebut nama perusahaan dan identitasnya, itu mengaku tidak pernah mendapat order pengerjaan spanduk MTQ maupun Pilkada. “Mungkin karena mereka lebih senang memesan di luar, padahal kenapa nggak mesen di percetakan lokal. Kalau masalah harga dan kualitas nggak beda jauh,” katanya.
Belum lagi jika dapat pemesanan seperti itu, biasanya untuk pembayaran akan mengalami sedikit masalah, yang dapat memengaruhi pendapatan. ”Dari pengalaman yang sudah-sudah, memang seperti itu. Mendingan nerima order untuk publikasi usaha atau dari momen penerimaan siswa baru (PSB), seperti spanduk sekolah dan atribut sekolah,” ungkapnya.
Hal sama dialami CV Kidang Jaya. Perusahaan jasa yang bergerak di bidang konveksi ini mengaku tidak kecipratan order. Sehingga, momen yang seyogyanya bisa menambah pundi-pundi penghasilan, terlewat begitu saja. “Beberapa minggu lalu ada tim sukses dari salah satu cawalkot Serang yang datang. Mereka ingin membuat kaos di sini. Tapi saya nggak menerimanya. Sebab harga yang ditawarkan begitu rendah. Saya nggak berani ambil resiko,” ungkap pemilik perusahaan H Suhaemi.
Itu terbukti, di kala perusahaan percetakan lain sibuk ngeprint spanduk bertemakan MTQ dan Pilkada, CV yang berada di kawasan Kidang Serang ini terlihat lengang dengan aktivitas konveksinya. Hanya beberapa pekerja saja yang terlihat menjahit seragam yang dipesan salah satu klub motor di Serang. “Sekarang yang banyak pesen itu klub motor. Mereka biasanya buat baju atau jaket. Menjelang masuk tahun ajaran baru ini. Sekolah-sekolah biasanya pesen baju olahraga. Tapi sekarang mah udah jarang,” tandasnya.(***)

 


Penumpang, barang, dan Kendaraan Bermotor

Kapal laut rute Merak-Bakauheni, adalah alat Transportasi satu-satunya menuju berbagai kota di pulau Sumatera, jika menggunakan kendaraan pribadi. Tak hanya itu, mobil bus, dan truk barang pun menggunakan jasa penyebrangan itu. Bagi penumpang yang tidak membawa kendaraan, kapal jenis Ro-ro (Roll on roll off) juga menjadi pilihan utama, untuk melintasi Selat Sunda, pemisah pulau Jawa dan Sumatera.



Pagi itu sekira pukul 10.00 WIB, Minggu (25/5) lalu, aktivitas pelabuhan Merak terlihat ramai. KM Royal Nusantara yang datang dari Bakauheni (Lampung) dengan gagahnya bersandar di dermaga II, untuk menyambut penumpang dari pulau Jawa yang ingin menyebrang. Tidak lama bongkar muat, ABK kapal itu langsung mengintruksi ABK yang lain untuk mempersilahkan para penumpang dan berbagai kendaraan beroda dua maupun empat yang telah menunggu lama untuk menaiki kapal menuju gerbang pulau Sumatera, yaitu Bakauheni.

Sebelum kapal berlayar, penumpang yang telah duduk manis di kabin kapal, dihibur oleh atraksi anak koin yang tanpa segan-segan terjun bebas ke laut dari deck teratas kapal. Setelah berada di air, anak koin memanggil-manggil penumpang untuk melempar uang. “Woii…lemparin uang koin dong! untuk kita makan , kalo nggak uang kertas juga boleh. Hand phone juga diterima,” ucap gerombolan anak koin yang berada di air. Spontan saja penumpang melempar apa yang mereka minta. Rupanya sebagian besar penumpang yang berada di kabin penumpang ekonomi terhibur atraksi anak koin yang menyelam mengejar uang lemparan lalu timbul lagi ke permukaan.
Setelah setengah jam menunggu, sekitar pukul 10.30 WIB kapal siap untuk berlayar, sirine kapal yang keras bertautan sebanyak 3 kali dibunyikan, menandakan kapal segera berlayar mengarungi selat sunda menuju pelabuhan Bakauheni Lampung. Setiap harinya kapal-kapal di pelabuhan Merak selalu dipadati oleh penumpang yang akan menyebrangi selat sunda, bahkan data berdasarkan ASDP Merak jumlah penumpang setiap harinya selama bulan Mei mencapai 10 ribu orang lebih dengan jumlah kapal yang beroperasi 24 unit.

Dipadati Penumpang
Dengan banyaknya kapasitas di kapal laut membuat transportasi yang satu ini selalu dipadati penumpang, belum lagi kendaraan-kendaraan seperti bus lintas Sumatera, truk-truk pengangkut barang, mobil pribadi, hingga sepeda motor tumplek menjadi satu di dalam deck kendaraan. Untuk penumpang sendiri biasanya bertempat di deck penumpang yang berada di atas deck kendaraan. Tempat untuk penumpang pun dibagi lagi, ada yang kelas ekonomi 1, 2 dan seterusnya. Tapi, bagi penumpang yang ingin menikmati kenyamanan lebih bisa menempati kelas bisnis dengan hanya mengeluarkan kocek yang bervariasi mulai dari 4 ribu, 6 ribu, dan 8 ribu rupiah. “Saya lebih nyaman di kelas ekonomi, karena tidak perlu ngeluarin uang lagi, karena saya bersama keluarga,” ungkap Bisli salah satu penumpang dari Surabaya yang akan menuju Palembang.
Bahkan salah satu penumpang, ada yang bilang lebih nyaman di kelas ekonomi yang terdapat pada koridor kanan maupun kiri kapal, karena dapat menikmati pemandangan laut dengan bebas. Selain itu, penumpang ekonomi juga kerap menempati haluan atau buritan kapal, walau tidak terdapat kursi alias ngampar di lantai kapal. “Disini (haluan-red) lebih enak, karena dapat menikmati angin laut yang sejuk,” ungkapnya.
Sesak memang menempati kelas ekonomi. Sudah kursi yang disediakan terbatas, bila terkena hujan pastiu akan kecipratan. Kondisinya juga kotor, ditambah lagi aroma bahan baker bercampur bau karat besi dari badan kapal yang menyengat. Tapi para penumpang terlihat begitu menikmati perjalanan. Ada yang duduk-duduk sambil makan bersama keluarga, konsentrasi memandangi laut, menonton acara musik yang disajikan tivi yang disediakan, bahkan seorang lelaki tua asik menghisap rokoknya, serasa tidak mau diganggu..
Kondisi di kelas ekonomi berbeda dengan kelas bisnis. Kendati di kelas bisnis suasananya nyaman, tapi penumpang terlihat lebih banyak beristirahat dan tidur di ruang ini. Di kelas ini penumpang dimanjakan dengan AC yang sejuk, kursi empuk, dan sofa yang mirip bar yang kerap digunakan penumpang yang datang berkeluarga. Belum lagi penumpang juga disuguhi dengan tivi 21 inch. Toiletnya pun lebih baik ketimbang kelas ekonomi yang akrab dengan aroma pesing. “Enakan di kelas bisnis, cuma nambah 4 ribu dapat pelayanan yang nyaman,” kata Daida (46) penumpang asal Jakarta yang hendak menuju Lampung beserta keluarganya.
Selain mendapat pelayanan yang nyaman, alasan keamanan juga jadi pertimbangan Daida. Maklum di sarana transportasi ini terkenal dengan tidak keamanannya. “Di kapal kan banyak penjambret yang berkeliaran, daripada kenapa-kenapa, lebih baik di kelas bisnis yang terjamin keamanannya,” tambahnya.


Mengais Rezeki
Banyak juga orang yang menggantungkan hidupnya untuk mencari nafkah di kapal, ada yang menjadi ABK, hingga berjualan aneka makanan. Penjual gorengan dan penjual jamu juga menyesaki deck-deck kapal. Sekilas diamati, diatas kapal memang seperti pasar yang sumpek.
Di kios-kios yang menjajakan aneka makanan, dijual dengan harga yang cukup mahal. semisal, sebungkus rokok yang biasanya berharga normal 9 ribu rupiah, di kapal bisa dijual seharga 15 ribu rupiah. “Saya jualan disini baru empat bulan, dan menjual berbagai jajanan. Yang paling laku biasanya kopi dan mie instant seduh,” papar salah satu penjual Asmi (35).
Walau begitu, penumpang yang membeli jajanan tetap ramai. Mungkin mereka terpaksa mengeluarkan kocek yang tidak normal. Namun apa mau dikata, daripada lapar diatas kapal lebih baik mengorbankan sedikit uang, yang penting perut terisi. “Ya mau gimana lagi, Lha wong saya lapar. Akhirnya saya beli juga, walau harganya 2 kali lipat dari harga biasa. Apalagi saya nggak bawa bekal makanan,” ungkap salah satu penumpang tujuan Jambi.
Berbagai pengalaman pernah dirasakan Jeni selama menjadi ABK, bahkan ketika terjadi kecelakaan kapal Levina I di perairan Jakarta dan KMP Lampung di Merak ia bersama ABK lainnya mendapat simulasi apabila terjadi kecelkaan kapal dilaut. Bahkan kapal yang kini menjadi tempatnya bekerja sempat tidak berlayar selama enam bulan lantaran untuk di benahi segala sesuatunya, mulai dari perlengkapan seperti sekoci kapal, lantai kapal yang sudah berkarat dan fasilitas untuk keselamatan lainnya. (*)

 


Berharap Semua Warga Peduli Kebersihan



Sampah sudah menjadi masalah klasik bagi masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Selain terlihat semrawut, sampah juga menimbulkan bau tak sedap, dan tak jarang menimbulkan banjir jika musim hujan tiba. Hampir disetiap kota, masalah sampah ditangani oleh petugas kebersihan atau biasa disebut pasukan kuning. Begitu juga di kota Serang, ujung tombak penanganan sampah juga ada di pundak pasukan kuning.

Sekira pagi pukul 06.00 pagi, saat jalan-jalan utama kota Serang masih lengang, setiap sudut kota terlihat sampah berserakan. Ada yang berserakan didekat tong sampah yang disediakan di pinggiran jalan, ada juga yang berserakan di trotoar maupun di badan jalan.

Keberadaan sampah organic (sampah hijau-red) maupun non organic yang berserakan itu menjadikan kota terlihat kotor dan tidak enak dipandang mata. Sampah yang kelamaan berada di tong sampah juga sangat menggangu. Pasalnya, sampah itu menimbulkan aroma tidak sedap alias busuk.

Sampah itu tidak datang dengan sendirinya. Bila diamati, rupanya sampah-sampah itu adalah sampah dari aktivitas malam. Maklum, hampir disetiap sudut kota Serang, setiap malam disesaki penjual jajanan. Saking asiknya menjual makanan, pedagang tidak memperhatikan sampah yang dihasilkan dari jualannya itu. Sebagian besar pedagang membiarkan sampah dagangannya berserakan. Mungkin pedagang beranggapan, mereka sudah membayar retribusi sampah. Sehingga pedagang tidak perduli dengan kebersihan di areal tempat dagangannya. Belum lagi warga sekitar yang melintas, yang terkadang membuang sampah sembarangan. Jangan kan sampah seperti puntung rokok, sampah sebesar kardus mie instant pun tidak segan-segan dibuang di jalan.

Sekira pukul 07.00 pagi, ratusan pasukan yang menggunakan seragam dinas berwarna kuning datang menyerbu tiap sudut kota untuk membersihkan sampah. Pasukan kuning datang tidak sekaligus. Mereka datang ada yang menggunakan truk sampah atau gerobak. Lengkap dengan sepatu boot, sapu lidi, dan sekop sebagai senjata andalan untuk membersihkan sampah yang berserakan di jalanan.

Meski berjibaku dengan kotoran dan sampah, pasukan kuning itu terlihat semangat menunaikan tugasnya. Tak ada rasa jijik, jangankan sampah yang beraroma tak sedap, sampah sebesar puntung rokok pun dipungutnya. Mereka mengangkut sampah ke gerobak berukuran 2 X 1 meter.

Selain itu, pasukan kuning tidak mempedulikan pakaian yang kotor akibat sampah. Mereka tidak merasa risih bersentuhan dengan sampah. Padahal bila dipikir-pikir, itu bisa menimbulkan penyakit kulit.

Pekerjaan yang dilakoni pasukan kuning tidak mudah, setiap hari, mereka harus berkutat dengan sampah-sampah dari berbagai sudut kota Serang. Bagi sebagian orang, pekerjaan itu adalah pekerjaan rendahan. Namun jika tidak ada mereka, lingkungan kota tidak bersih dan indah. Sayangnya, keberadaan pasukan kuning masih termarjinalkan alias tidak diperhatikan.

Walau begitu, menjaga kebersihan dengan cara menyapu jalanan menjadi kesenangan tersendiri bagi Opan (25), warga Sumur Pecung, Serang ini yang mengaku senang bisa membersihkan jalan. Ia amat menyukai pekerjaan yang sudah dilakoninya selama 13 tahun itu. “Namanya orang susah cari kerjaan. Saya sih kerja beginian seneng-seneng aja. Mau gimana lagi, wong susah dapet kerjaan laen. Tapi saya sih ikhlas aja kerja begini, yang penting bisa ngasih makan anak istri,” ungkap Opan disela-sela kerjanya.
Dengan wajah penuh harap, Opan meminta agar seluruh masyarakat dapat bekerjasama demi kebersihan kota. Dirinya menginginkan Kota Serang bersih, sehingga terlihat rapi, tertib, dan asri.

“Makanya, saya sih minta pengertian masyarakat. Kita saling bantu aja, kalo ada sampah, ya dikumpulin aja, biar kita yang angkut ke grobak,” katanya sembari menunjukan gerobak bawaannya.

Saling pengertian, kata-kata itu pula yang ingin diungkapkan Samsudin (25), salah seorang pasukan kuning yang bertugas di kawasan Pasar Induk Rau (PIR) Serang. Bedanya, Samsudin meminta pengertian pada para pedagang yang ada di lingkungan PIR untuk membersihkan sampah. “Ya gimana, kalo kita kerja, pagi dibersihin, siangnya sampah sudah menumpuk lagi. Pedagang suka asal membuang sampah. Padahal tempat sampah didalem itu besar-besar. Kerena tugas saya di sekitar sini, ya mau gimana lagi. Saya mah minta kejasamanya aja sama pedagang,” tutur pria yang sudah 12 tahun menggeluti pekerjaan ini.

Dengan upah sekitar Rp 475 ribu, bagi Momon (43) masih dirasa sangat kurang. Dengan beban hidup seperti sekarang ini, jumlah itu terbilang masih jauh dari cukup. Apalagi dengan kenaikan BBM mencekik rakyat kecil seperti Momon. “Kita juga dapet uang makannya, tapi cuma Rp 325 ribu doang. Walau dijumlahin juga tetep aja nggak cukup buat hidup zaman sekarang. Makanya, kalo siang, saya jadi tukang cari rongsokan sebagai sampingannya. Lumayan buat nambah penghasilan,” ujar warga Legok ini.

Meski demikian, Momon tetap menyenangi pekerjaan yang sudah ia lakoni selama 10 tahun itu. Baginya, mengemban tugas sebagai pasukan kuning merupakan kebanggaan tersendiri. Maka dari itu, ia bersama rekan-rekannya berharap ada kenaikan gaji dari instansi terkait. “Tapi kalo gaji tidak bisa naek, ya musti gimana lagi. Gaji segitu kita cukup-cukupin aja buat nyambung hidup. Masalahnya sekarang ini nggak ada kerjaan laen. Kita bisa kerja begini, ya udah kita jalanin aja yang ada,” ungkapnya.

Semangat itu tertular pula pada Uyung (29), selain bertugas sebagai pasukan kuning, usai melaksanakan tugas, Uyung berganti profesi menjadi tukang ojek. Hal tersebut ia lakukan semata-mata hanya untuk menambah pundi-pundi penghasilannya. “Gaji yang saya dapet itu nggak cukup buat ngasih makan anak sama istri. Ya saya ngojek aja, dari pada nganggur di rumah. Kerja ini kan nggak sampe siang, jadi masih bisa cari sampingan,” ungkap pria asal Rangkasbitung.

Gaji yang terbilang kecil, tidak lantas menyurutkan Rasta (30) dalam menjalankan tugasnya. Kata pria asal Cikeusal ini, menjaga kota supaya tetap bersih adalah tugas yang paling utama. Baginya, slogan Jangan Buang Sampah Sembarangan harus ada pada benak setiap orang. “Saya pengen kota ini jadi bersih, tertib, dan asri. Saya juga pengennya mengajak masyarakat untuk sama-sama dan saling membantu menciptakan kebersihan. Istilahnya itu, kita bareng-bareng bersihin kota ini,” ujar bapak yang sudah bekerja selama 7 tahun.

Ternyata, kebersihan memang tidak mudah dituntaskan begitu saja. Kalo hanya mengandalkan pasukan kuning, kapan kota ini mendapatkan suatu penghargaan terhadap kebersihan. Dari beberapa pernyataan diatas, peran masyarakat sangat dibutuhkan. Perihal kebersihan bukan hanya perkara pada pasukan kuning saja. Tapi juga tanggung jawab bersama.(***)

 


Setiap hari, hampir setiap persimpangan lampu merah di Serang, banyak anak-anak jalanan berkeliaran. Dengan berbekal ukulele, bongo, atau tutup limun yang disulap menjadi kecrek, mereka siap beraksi. Layaknya artis, mereka bernyanyi di bawah terik matahari diantara himpitan kendaraan beroda empat atau dua yang menunggu lampu hijau menyala. Tanda kendaraan boleh jalan. Kalau diamati mereka seharusnya bukan berada di jalanan, tapi berada di tempat yang layak seperti anak-anak sewajarnya, yaitu di sekolah, mengingat usia mereka masih sangat muda.


Dengan pakain lusuh dan sedikit kumal ala anak-anak Punk, Asep (20), Qmong (16) dan Resta (15) menjajakan suaranya di perempatan lampu merah di kawasan Sumur Pecung Serang. Satu persatu mobil yang berhenti mereka datangi sambil menyanyikan sebuah lagu, dan menanti sedikit kebaikan para pengendara untuk memberikan uang. Asep terlihat asik menggenjreng ukulelenya sambil menyanyikan lagu jalanan khas pengamen, Resta asik menabuh bongo yang terbuat dari paralon yang dibungkus dengan karet ban bekas. Wajah mereka sesekali tersenyum ketika salah satu pengendara menjulurkan tangan dari dalam mobil untuk memberikan recehan, kalau pun tak di berikan uang dan mendapat perlakuan yang kurang mengenakan dari pengendara, mereka berlalu pergi dan berganti ke kendaraan lain. Kembali mengharapkan uang recehan.

Hampir setiap hari mereka mengamen, perempatan lampu merah di Serang ia jajaki satu persatu, mulai dari pukul 09.00 pagi hingga sekira pukul 05.00 sore. Mereka, rasanya tak pernah lelah untuk mengamen. Bahkan, mereka terlihat riang, lantaran ngamen adalah rutinitas yang utama. “Paling enak, jam segini ngamen disini (Lampu merah-red) atau nggak di alun-alun Serang,” ujar Asep ketika ditemui Radar Banten, Kamis (23/4) lalu. Setiap ngamen, dalam sehari mereka bisa mengantongi uang 20-25 ribu. Tak banyak memang, tapi bagi mereka asalkan cukup untuk makan sudah merasa senang.

Selain di persimpangan lampu merah, anjal juga kerap mengamen di sepanjang jalan Diponegoro, kawasan Kantin, dan Royal Serang. Para artis jalanan ini didominasi oleh anak-anak usia belasan atau usia sekolah dasar. Sedari sore hingga mendekati tengah malam mereka menghibur dari satu warung tenda ke warung tenda lainnya. Wajar saja, tempat ini menjadi daya tarik bagi anjal, lantaran di tempat ini selalu ramai dipadati para pembeli untuk membeli beragam makanan yang dijajakan di warung-warung tenda tersebut. “Disini kan ramai, makanya kita ngamen disini,” ucap Pia, bocah berusia 13 tahun.

Tentu saja keberadaan mereka dianggap mengganggu ketertiban umum oleh berbagai pihak. Salah satu pihak yang paling merasa terganggu, tentunya datang dari kalangan pengendara dan pembeli yang sedang menikmati di warung-warung tenda. Sebut saja Mulia (25) yang kerap berkendara mobil saat menunggu lampu hijau di kawasan Ciceri Serang. Menurutnya, para pengamen tidak pernah memaksa saat mengharapkan imbalan dari pengendara mobil yang berhenti saat lampu merah. Namun keberadaan mereka, tetap saja mengganggu para pengguna jalan. “Pas lampu sudah hijau, kadang-kadang mereka seenaknya saja menyebrang, tanpa menghiraukan pengendara yang akan melintas,” katanya.

Selain Mulia, Pramono (41) yang sedang menikmati seafood di warung tenda di kawasan kantin, juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya keberadaan pengamen, terkadang mengganggu suasana dirinya yang tengah menikmati hidangan. “Mereka sih kebanyakan nggak maksa untuk mengharapkan recehan dari orang, tapi kalau pengamennya sering-sering, kita juga terganggu,” katanya.

Berbagai Pengalaman
Keras memang menjalanani kehidupan jalanan, karena selain harus bersaing dengan para pengamen lainnya dalam mencari uang, para pengemen pun sering ditertibkan oleh para petugas keamanan. Pengalaman itu yang kerap dirasakan oleh para pengamen jalanan yang ada di Serang. Hampir setiap pengamen pernah mengalami diciduk oleh petugas trantib. Seperti yang dialami Asep, ia mengenang ketika dirinya dan teman-teman di tertibkan oleh petugas keamanan ketika sedang mengamen. Ia pun segera digelandang ke markas petugas keamanan, dan langsung di interogasi serta di beri pengarahan. Tapi ketika diberi pengarahan oleh petugas, Asep bercerita para pengamen sering mendapat perlakuan dan tindak kekerasan dari petugas, seperti di pukuli atau ditendang. “Padahal saya dan teman-teman tidak mencuri atau ngerampok, tapi kenapa kok dipukuli, saya khan cuma cari makan di jalanan,” terang Asep yang mengaku sudah berkeluarga di usia belia ini.

Asep pun bercerita, ada pengamen jalanan yang meninggal akibat digebugin petugas keamanan, saat terkena razia. Atas kejadian itu, Asep sempat dendam dengan petugas keamanan, yang menyebabkan rekannya tewas. “Kejadiannya sih udah lama, kira- kira 3 tahun yang lalu. Saat itu saya juga kena razia. Pas kami dibawa di markas petugas, petugas tidak segan- segan memukuli kami. Bahkan 2 teman saya sampai luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal,” ujarnya, dengan mimik muka sedih.
Asep, juga mengaku bila dirinya terkena razia oleh petugas keamanan dia hanya bias berharap mereka tidak memperlakukan dengan kasar kepada pengamen atau anak jalanan lainnya, kalau pun mau ditertibkan sebaiknya diberi pengarahan yang benar.
Mendapat perlakuan kekerasan ternyata tidak hanya datang dari para petugas keamanan semata, tetapi sesama Anjal pun terkadang sering berkelahi. Biasanya mereka saling memperebutkan daerah kekuasaan. Seperti yang diakui Qmong teman Asep, saat ini saja kondisi pengamen di Serang sedang tidak aman, karena saling berebut kekuasaan tempat mengamen, tapi untungnya belum terjadi perkelahian.

“Kalau berantem udah sering, biasanya antar sesama pengamen, ya itu mah sudah resiko hidup di jalanan,” ungkap Pia ketika di temui seusai mengamen.
Dibalik berbagai pengalan kerasnya hidup di jalanan, Asep dan kawan-kawan bahkan punya pengalaman yang mengasikan. Dimana dirinya bisa ngamen hingga ke luar Banten, seperti Serpong, Tangerang, Jogjakarta hingga mencapai pulau Dewata Bali. Hal itu dilakukannya untuk mencari pengalaman, serta mencari tempat-tempat baru untuk dikunjungi. “Saya suka berpetualang, atau istilah Punk disebut dengan on The Street. Disana saya dapat kenalan baru, ujarnya sambil memegang ukulele kesayangannya.

Banyak Penyebab

Tak ada seorang pun yang menginginkan untuk hidup di jalanan, karena jalanan hampir serupa dengan hutan yang memberlakukan hukum rimba ‘Siapa yang kuat dia yang menang’. Itulah yang tepat digambarkan untuk kehidupan jalanan. Banyak penyebab kenapa para anak-anak yang masih berumur belia menjadi pengamen jalanan. Penyebab yang cukup klasik, karena faktor ekonomi keluarga, sehingga mereka ikut menanggung beban yang berat. Padahal bila dilihat dari usia, mereka seharusnya belum memikirkan biaya hidup keluarga ataupun membiayai sekolah mereka. Yang harus mereka pikirkan adalah bermain seperti layaknya anak-anak yang berkecukupan dan menikmati bangku sekolah.

Pia (13), pengamen di kawasan kantin Serang mengaku menjadi pengamen lantaran untuk membiayai sekolahnya, karena keterbatasan ekonomi keluarganya ia harus berjuang setiap malamnya untuk mengamen. Kebanyakan anak seusianya dihabiskan untuk bermain dan belajar, Pia malah menghabiskan waktu dengan mencari uang untuk keperluan sekolah. “Hasil dari ngamen setiap hari saya masukin celengan, buat bayar biaya sekolah, atau beli keperluan sekolah lainnya,” pungkas bocah asal Pekarungan Serang ini.

Tapi diantara sekian banyaknya pengamen di jalanan, ada juga awalnya yang hanya sekadar ikut-ikutan, dan lama kelamaan menjadi sebuah profesi menjadi penghibur jalanan. Sehingga yang tadinya bersekolah, saking asyiknya di Jalanan, mereka memilih untuk yidak melanjutkan sekolah. “Tadinya saya sekolah, tapi uangnya tidak begitu cukup. Akhirnya saya mutusin untuk ngamen aja, seperti teman- teman saya,” kata Suganda, anjal yang lain.

Kisah Asep, Pia, dan Suganda, mungkin hanya sebagian kecil saja yang hidup dalam kerasnya kehidupan jalanan. Masih banyak lagi anjal yang mengalami hal serupa. Bila dihitung, mungkin jumlahnya bias mencapai ratusan bahkan ribuan. Namun, dalam benak mereka, ada keinginan untuk tidak selalu menjadi anjal. Mereka juga punya angan-angan memiliki kehidupan yang layak dan tentunya ingin kembali mendapatkan pendidikan yang layak.(***)

 


12 Rabiul Awal merupakan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Seluruh umat Islam menggelar berbagai perayaan memperingati hari kelahiran itu. Seperti di Banten, khususnya Kabupaten Serang. Masyarakat Kabupaten Serang memperingati hari kelahiran nabi dengan cara melaksakankan Muludan. Kegiatan itu dilaksanakan sebulan penuh. Dan biasanya, peringatan Muludan dipusatkan di masjid, lapangan, dan tempat-tempat lainnya di kampung. Seperti yang warga Desa Serdang, Kramatwatu Serang yang melaksanakan Muludan cukup meriah dan menjadi pusat perhatian masyarakat.



Sekitar pukul 08.30 WIB, masjid agung Nurul Huda yang berlokasi di Desa Serdang, Serang, tampak ramai dipadati masyarakat. Dari mulai pemuda hingga sesepuh desa. Mereka mengenakan pakaian rapih dan berkopyah. Pakaian itu merupakan salah satu pakaian yang dikenakan masyarakat pada acara Muludan di desa itu.
Sementara itu, di dalam masjid yang menjadi kebanggaan warga Serdang, terdengar suara dzikir dan shalawat nabi menggema yang dilantunkan dua kelompok pendzikir yang sengaja diundang dari luar desa. Dua kelompok ini berjumlah 275 orang. Mengenakan pakaian yang berbeda, yang satu bercorak batik coklat, sedangkan yang ke dua memakai kemeja polos biru langit. Tentu saja, berkopyah dan bersarung.

Kedua kelompok pendzikir tersebut silih berganti mengumandangkan dzikir dan shalawat nabi. Seakan-akan keduanya berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Satu kelompok dipimpin oleh seorang sepuh. Dia lah yang memberikan komando kepada pe-dzikir yang tergabung kedalam kubunya. Karenanya, dari masjid tersebut keluar lantunan salawat yang menggema di seluruh desa.

Kedua kelompok itu pun melantunkan syair khas muludan. Syair itu bercerita tentang kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Menurut sejarah, syair itu dikenal dengan sebutan syair Barzanji karya seorang ulama yang lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766 . Dia adalah Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim.
“Syair ini menceritakan silsilah, kelahiran, masa kecil, dewasa, hingga wafatnya Rasulullah,” ungkap ustadz Amin Ma’mun sesepuh warga Serdang, disela- sela kegiatan berlangsung, Minggu (30/3) lalu.

Pada waktu bersamaan, warga sibuk mempersiapkan panjang mulud yang akan diarak keliling desa. Setiap RT mengirimkan satu panjang. Tak terkecuali organisasi/kelompok yang terdapat di Desa Serdang. Misalnya saja kelompok ibu-ibu pengajian, peternak, dan petani. Pagi itu mereka sibuk mendandani mobil yang direlakan untuk dijadikan pengarak panjang.

Peringatan maulid nabi di Desa Serdang tahun ini, telah dikonsep sebulan sebelumnya. Beberapa kalangan berpendapat, penyelenggaraan maulid nabi Desa Serdang ini paling meriah se-Kabupaten Serang. Kemeriahan acara tersebut selalu ditunggu-tunggu warga. Bahkan para pejabat pun menyempatkan hadir, seperti wakil bupati, ketua DPRD, sampai kepala dinas.

Kemeriahan perayaan muludan di Serdang, terlaksana karena warga memiliki kesadaran tinggi akan perayaan hari besar agama Islam, semisal mulud. Belum lagi pemerintahan desa yang mendukung keinginan warganya untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
“Alhamdulillah muludan disini selalu meriah. Hal itu terjadi sejak tahun 1992 lalu. Mungkin karena warga dan aparat desa mempunyai semangat yang sama,” tambah ustadz Amin Ma’mun.

Menjelang puncak acara, panitia mengumpulkan dan mendata panjang mulud dari 16 RT dan organisasi kepemudaan. Panitia berhasil mengumpulkan 12 panjang mulud. Sebelum pawai dimulai, panjang terlebih dahulu dibariskan sesuai dengan nomor urut peserta.

Sekitar waktu sudah melewati Dzuhur, kira- kira pukul 13.00 WIB, arak-arakan panjang dimulai, jalan raya yang melintasi Desa Serdang pun ditutup setengah badan jalan. Warga sekitar berbondong-bondong dan berkumpul dipinggir jalan. Meski menciptakan kemacetan sesaat, kemeriahan pawai itu juga menarik para pengguna kendaraan yang melintas. Sesekali terlihat, para pengguna jalan memarkirkan kendaraannya untuk menyaksikan lebih lama lagi pawai panjang yang sedang berlangsung.

Setiap peserta panjang mulud menampilkan kekhasannya masing-masing. Tiap RT mengangkat tema yang berbeda-beda, sehingga panjang mereka satu sama lain saling berlainan. Ada yang membuat panjang berupa binatang sebagai ikon, misalnya beruang kutub, macan, gajah, ikan, ataupun penyu laut. Ada juga yang memajang replika Ka’bah sebagai panjang yang ditampilkan pada tahun ini.

Para peserta berusaha menampilkan yang terbaik dalam pawai panjang tersebut. Karena tiap panjang akan dinilai oleh dewan juri. Panjang yang mendapatkan point tertinggi berhak mendapatkan tropi berupa piala bergilir Bupati Serang.

Untuk tahun ini sedikit berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Pemenang panjang bertambah banyak. Karena tidak hanya memperebutkan juara 1-3, tapi sekarang sudah ada juara harapan 1-3. Hal tersebut dimaksudkan agar peserta tidak merasa sia-sia, karena telah bersusah payah membuat panjang hasil kreativitasnya.

Selain menampilkan hasil bumi dari Desa Serdang sendiri, para peserta juga memajang uang kertas, seperti pecahan 10 ribu, 5 ribu dan 1000 rupiah. Namun, sebagian besar peserta memajang matengan (makanan yang telah masak). Karena pihak penyelenggara telah menetapkan ketentuan bahan-bahan yang akan ditampilkan dalam panjang. Ketentuannya yakni 80% untuk matengan, dan 20% bahan mentah, misalnya beras ataupun instant.

“Kita sengaja menentukan, RT mana yang menyiapkan panjang mateng dan panjang yang isinya bahan mentah. Ini untuk menyeimbangkan panjang mateng agar tidak terbuang sia- sia, karena panjang mateng tidak bertahan lama (cepat basi-red),” imbuh koordinator panjang Mawardi.

Isi dari panjang tersebut nantinya akan dibagikan kepada warga sekitar yang tergolong kurang mampu. Selain itu, ada juga panjang yang dijadikan warga untuk berebutan mendapatkannya, tak ada aturannya dalam rebutan panjang tersebut. Baik tua maupun muda, ataupun laki-laki dan perempuan, semuanya boleh memperebutkan isi panjang. Dari klimaks penyelenggaraan ini, terlihat bahwa mulud dapat menjadikan sarana kenersamaan dan silaturahmi warga desa.

Saking meriahnya, warga yang ingin menyaksikan iring-iringan panjang, rela panas-panasan berdiri di pinggir jalan. Bahkan, karena tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan pawai, ada pula yang nonton di lantai bertingkat rumahnya.(***)