12 Rabiul Awal merupakan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Seluruh umat Islam menggelar berbagai perayaan memperingati hari kelahiran itu. Seperti di Banten, khususnya Kabupaten Serang. Masyarakat Kabupaten Serang memperingati hari kelahiran nabi dengan cara melaksakankan Muludan. Kegiatan itu dilaksanakan sebulan penuh. Dan biasanya, peringatan Muludan dipusatkan di masjid, lapangan, dan tempat-tempat lainnya di kampung. Seperti yang warga Desa Serdang, Kramatwatu Serang yang melaksanakan Muludan cukup meriah dan menjadi pusat perhatian masyarakat.



Sekitar pukul 08.30 WIB, masjid agung Nurul Huda yang berlokasi di Desa Serdang, Serang, tampak ramai dipadati masyarakat. Dari mulai pemuda hingga sesepuh desa. Mereka mengenakan pakaian rapih dan berkopyah. Pakaian itu merupakan salah satu pakaian yang dikenakan masyarakat pada acara Muludan di desa itu.
Sementara itu, di dalam masjid yang menjadi kebanggaan warga Serdang, terdengar suara dzikir dan shalawat nabi menggema yang dilantunkan dua kelompok pendzikir yang sengaja diundang dari luar desa. Dua kelompok ini berjumlah 275 orang. Mengenakan pakaian yang berbeda, yang satu bercorak batik coklat, sedangkan yang ke dua memakai kemeja polos biru langit. Tentu saja, berkopyah dan bersarung.

Kedua kelompok pendzikir tersebut silih berganti mengumandangkan dzikir dan shalawat nabi. Seakan-akan keduanya berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Satu kelompok dipimpin oleh seorang sepuh. Dia lah yang memberikan komando kepada pe-dzikir yang tergabung kedalam kubunya. Karenanya, dari masjid tersebut keluar lantunan salawat yang menggema di seluruh desa.

Kedua kelompok itu pun melantunkan syair khas muludan. Syair itu bercerita tentang kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Menurut sejarah, syair itu dikenal dengan sebutan syair Barzanji karya seorang ulama yang lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766 . Dia adalah Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim.
“Syair ini menceritakan silsilah, kelahiran, masa kecil, dewasa, hingga wafatnya Rasulullah,” ungkap ustadz Amin Ma’mun sesepuh warga Serdang, disela- sela kegiatan berlangsung, Minggu (30/3) lalu.

Pada waktu bersamaan, warga sibuk mempersiapkan panjang mulud yang akan diarak keliling desa. Setiap RT mengirimkan satu panjang. Tak terkecuali organisasi/kelompok yang terdapat di Desa Serdang. Misalnya saja kelompok ibu-ibu pengajian, peternak, dan petani. Pagi itu mereka sibuk mendandani mobil yang direlakan untuk dijadikan pengarak panjang.

Peringatan maulid nabi di Desa Serdang tahun ini, telah dikonsep sebulan sebelumnya. Beberapa kalangan berpendapat, penyelenggaraan maulid nabi Desa Serdang ini paling meriah se-Kabupaten Serang. Kemeriahan acara tersebut selalu ditunggu-tunggu warga. Bahkan para pejabat pun menyempatkan hadir, seperti wakil bupati, ketua DPRD, sampai kepala dinas.

Kemeriahan perayaan muludan di Serdang, terlaksana karena warga memiliki kesadaran tinggi akan perayaan hari besar agama Islam, semisal mulud. Belum lagi pemerintahan desa yang mendukung keinginan warganya untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
“Alhamdulillah muludan disini selalu meriah. Hal itu terjadi sejak tahun 1992 lalu. Mungkin karena warga dan aparat desa mempunyai semangat yang sama,” tambah ustadz Amin Ma’mun.

Menjelang puncak acara, panitia mengumpulkan dan mendata panjang mulud dari 16 RT dan organisasi kepemudaan. Panitia berhasil mengumpulkan 12 panjang mulud. Sebelum pawai dimulai, panjang terlebih dahulu dibariskan sesuai dengan nomor urut peserta.

Sekitar waktu sudah melewati Dzuhur, kira- kira pukul 13.00 WIB, arak-arakan panjang dimulai, jalan raya yang melintasi Desa Serdang pun ditutup setengah badan jalan. Warga sekitar berbondong-bondong dan berkumpul dipinggir jalan. Meski menciptakan kemacetan sesaat, kemeriahan pawai itu juga menarik para pengguna kendaraan yang melintas. Sesekali terlihat, para pengguna jalan memarkirkan kendaraannya untuk menyaksikan lebih lama lagi pawai panjang yang sedang berlangsung.

Setiap peserta panjang mulud menampilkan kekhasannya masing-masing. Tiap RT mengangkat tema yang berbeda-beda, sehingga panjang mereka satu sama lain saling berlainan. Ada yang membuat panjang berupa binatang sebagai ikon, misalnya beruang kutub, macan, gajah, ikan, ataupun penyu laut. Ada juga yang memajang replika Ka’bah sebagai panjang yang ditampilkan pada tahun ini.

Para peserta berusaha menampilkan yang terbaik dalam pawai panjang tersebut. Karena tiap panjang akan dinilai oleh dewan juri. Panjang yang mendapatkan point tertinggi berhak mendapatkan tropi berupa piala bergilir Bupati Serang.

Untuk tahun ini sedikit berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Pemenang panjang bertambah banyak. Karena tidak hanya memperebutkan juara 1-3, tapi sekarang sudah ada juara harapan 1-3. Hal tersebut dimaksudkan agar peserta tidak merasa sia-sia, karena telah bersusah payah membuat panjang hasil kreativitasnya.

Selain menampilkan hasil bumi dari Desa Serdang sendiri, para peserta juga memajang uang kertas, seperti pecahan 10 ribu, 5 ribu dan 1000 rupiah. Namun, sebagian besar peserta memajang matengan (makanan yang telah masak). Karena pihak penyelenggara telah menetapkan ketentuan bahan-bahan yang akan ditampilkan dalam panjang. Ketentuannya yakni 80% untuk matengan, dan 20% bahan mentah, misalnya beras ataupun instant.

“Kita sengaja menentukan, RT mana yang menyiapkan panjang mateng dan panjang yang isinya bahan mentah. Ini untuk menyeimbangkan panjang mateng agar tidak terbuang sia- sia, karena panjang mateng tidak bertahan lama (cepat basi-red),” imbuh koordinator panjang Mawardi.

Isi dari panjang tersebut nantinya akan dibagikan kepada warga sekitar yang tergolong kurang mampu. Selain itu, ada juga panjang yang dijadikan warga untuk berebutan mendapatkannya, tak ada aturannya dalam rebutan panjang tersebut. Baik tua maupun muda, ataupun laki-laki dan perempuan, semuanya boleh memperebutkan isi panjang. Dari klimaks penyelenggaraan ini, terlihat bahwa mulud dapat menjadikan sarana kenersamaan dan silaturahmi warga desa.

Saking meriahnya, warga yang ingin menyaksikan iring-iringan panjang, rela panas-panasan berdiri di pinggir jalan. Bahkan, karena tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan pawai, ada pula yang nonton di lantai bertingkat rumahnya.(***)