Setiap hari, hampir setiap persimpangan lampu merah di Serang, banyak anak-anak jalanan berkeliaran. Dengan berbekal ukulele, bongo, atau tutup limun yang disulap menjadi kecrek, mereka siap beraksi. Layaknya artis, mereka bernyanyi di bawah terik matahari diantara himpitan kendaraan beroda empat atau dua yang menunggu lampu hijau menyala. Tanda kendaraan boleh jalan. Kalau diamati mereka seharusnya bukan berada di jalanan, tapi berada di tempat yang layak seperti anak-anak sewajarnya, yaitu di sekolah, mengingat usia mereka masih sangat muda.


Dengan pakain lusuh dan sedikit kumal ala anak-anak Punk, Asep (20), Qmong (16) dan Resta (15) menjajakan suaranya di perempatan lampu merah di kawasan Sumur Pecung Serang. Satu persatu mobil yang berhenti mereka datangi sambil menyanyikan sebuah lagu, dan menanti sedikit kebaikan para pengendara untuk memberikan uang. Asep terlihat asik menggenjreng ukulelenya sambil menyanyikan lagu jalanan khas pengamen, Resta asik menabuh bongo yang terbuat dari paralon yang dibungkus dengan karet ban bekas. Wajah mereka sesekali tersenyum ketika salah satu pengendara menjulurkan tangan dari dalam mobil untuk memberikan recehan, kalau pun tak di berikan uang dan mendapat perlakuan yang kurang mengenakan dari pengendara, mereka berlalu pergi dan berganti ke kendaraan lain. Kembali mengharapkan uang recehan.

Hampir setiap hari mereka mengamen, perempatan lampu merah di Serang ia jajaki satu persatu, mulai dari pukul 09.00 pagi hingga sekira pukul 05.00 sore. Mereka, rasanya tak pernah lelah untuk mengamen. Bahkan, mereka terlihat riang, lantaran ngamen adalah rutinitas yang utama. “Paling enak, jam segini ngamen disini (Lampu merah-red) atau nggak di alun-alun Serang,” ujar Asep ketika ditemui Radar Banten, Kamis (23/4) lalu. Setiap ngamen, dalam sehari mereka bisa mengantongi uang 20-25 ribu. Tak banyak memang, tapi bagi mereka asalkan cukup untuk makan sudah merasa senang.

Selain di persimpangan lampu merah, anjal juga kerap mengamen di sepanjang jalan Diponegoro, kawasan Kantin, dan Royal Serang. Para artis jalanan ini didominasi oleh anak-anak usia belasan atau usia sekolah dasar. Sedari sore hingga mendekati tengah malam mereka menghibur dari satu warung tenda ke warung tenda lainnya. Wajar saja, tempat ini menjadi daya tarik bagi anjal, lantaran di tempat ini selalu ramai dipadati para pembeli untuk membeli beragam makanan yang dijajakan di warung-warung tenda tersebut. “Disini kan ramai, makanya kita ngamen disini,” ucap Pia, bocah berusia 13 tahun.

Tentu saja keberadaan mereka dianggap mengganggu ketertiban umum oleh berbagai pihak. Salah satu pihak yang paling merasa terganggu, tentunya datang dari kalangan pengendara dan pembeli yang sedang menikmati di warung-warung tenda. Sebut saja Mulia (25) yang kerap berkendara mobil saat menunggu lampu hijau di kawasan Ciceri Serang. Menurutnya, para pengamen tidak pernah memaksa saat mengharapkan imbalan dari pengendara mobil yang berhenti saat lampu merah. Namun keberadaan mereka, tetap saja mengganggu para pengguna jalan. “Pas lampu sudah hijau, kadang-kadang mereka seenaknya saja menyebrang, tanpa menghiraukan pengendara yang akan melintas,” katanya.

Selain Mulia, Pramono (41) yang sedang menikmati seafood di warung tenda di kawasan kantin, juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya keberadaan pengamen, terkadang mengganggu suasana dirinya yang tengah menikmati hidangan. “Mereka sih kebanyakan nggak maksa untuk mengharapkan recehan dari orang, tapi kalau pengamennya sering-sering, kita juga terganggu,” katanya.

Berbagai Pengalaman
Keras memang menjalanani kehidupan jalanan, karena selain harus bersaing dengan para pengamen lainnya dalam mencari uang, para pengemen pun sering ditertibkan oleh para petugas keamanan. Pengalaman itu yang kerap dirasakan oleh para pengamen jalanan yang ada di Serang. Hampir setiap pengamen pernah mengalami diciduk oleh petugas trantib. Seperti yang dialami Asep, ia mengenang ketika dirinya dan teman-teman di tertibkan oleh petugas keamanan ketika sedang mengamen. Ia pun segera digelandang ke markas petugas keamanan, dan langsung di interogasi serta di beri pengarahan. Tapi ketika diberi pengarahan oleh petugas, Asep bercerita para pengamen sering mendapat perlakuan dan tindak kekerasan dari petugas, seperti di pukuli atau ditendang. “Padahal saya dan teman-teman tidak mencuri atau ngerampok, tapi kenapa kok dipukuli, saya khan cuma cari makan di jalanan,” terang Asep yang mengaku sudah berkeluarga di usia belia ini.

Asep pun bercerita, ada pengamen jalanan yang meninggal akibat digebugin petugas keamanan, saat terkena razia. Atas kejadian itu, Asep sempat dendam dengan petugas keamanan, yang menyebabkan rekannya tewas. “Kejadiannya sih udah lama, kira- kira 3 tahun yang lalu. Saat itu saya juga kena razia. Pas kami dibawa di markas petugas, petugas tidak segan- segan memukuli kami. Bahkan 2 teman saya sampai luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal,” ujarnya, dengan mimik muka sedih.
Asep, juga mengaku bila dirinya terkena razia oleh petugas keamanan dia hanya bias berharap mereka tidak memperlakukan dengan kasar kepada pengamen atau anak jalanan lainnya, kalau pun mau ditertibkan sebaiknya diberi pengarahan yang benar.
Mendapat perlakuan kekerasan ternyata tidak hanya datang dari para petugas keamanan semata, tetapi sesama Anjal pun terkadang sering berkelahi. Biasanya mereka saling memperebutkan daerah kekuasaan. Seperti yang diakui Qmong teman Asep, saat ini saja kondisi pengamen di Serang sedang tidak aman, karena saling berebut kekuasaan tempat mengamen, tapi untungnya belum terjadi perkelahian.

“Kalau berantem udah sering, biasanya antar sesama pengamen, ya itu mah sudah resiko hidup di jalanan,” ungkap Pia ketika di temui seusai mengamen.
Dibalik berbagai pengalan kerasnya hidup di jalanan, Asep dan kawan-kawan bahkan punya pengalaman yang mengasikan. Dimana dirinya bisa ngamen hingga ke luar Banten, seperti Serpong, Tangerang, Jogjakarta hingga mencapai pulau Dewata Bali. Hal itu dilakukannya untuk mencari pengalaman, serta mencari tempat-tempat baru untuk dikunjungi. “Saya suka berpetualang, atau istilah Punk disebut dengan on The Street. Disana saya dapat kenalan baru, ujarnya sambil memegang ukulele kesayangannya.

Banyak Penyebab

Tak ada seorang pun yang menginginkan untuk hidup di jalanan, karena jalanan hampir serupa dengan hutan yang memberlakukan hukum rimba ‘Siapa yang kuat dia yang menang’. Itulah yang tepat digambarkan untuk kehidupan jalanan. Banyak penyebab kenapa para anak-anak yang masih berumur belia menjadi pengamen jalanan. Penyebab yang cukup klasik, karena faktor ekonomi keluarga, sehingga mereka ikut menanggung beban yang berat. Padahal bila dilihat dari usia, mereka seharusnya belum memikirkan biaya hidup keluarga ataupun membiayai sekolah mereka. Yang harus mereka pikirkan adalah bermain seperti layaknya anak-anak yang berkecukupan dan menikmati bangku sekolah.

Pia (13), pengamen di kawasan kantin Serang mengaku menjadi pengamen lantaran untuk membiayai sekolahnya, karena keterbatasan ekonomi keluarganya ia harus berjuang setiap malamnya untuk mengamen. Kebanyakan anak seusianya dihabiskan untuk bermain dan belajar, Pia malah menghabiskan waktu dengan mencari uang untuk keperluan sekolah. “Hasil dari ngamen setiap hari saya masukin celengan, buat bayar biaya sekolah, atau beli keperluan sekolah lainnya,” pungkas bocah asal Pekarungan Serang ini.

Tapi diantara sekian banyaknya pengamen di jalanan, ada juga awalnya yang hanya sekadar ikut-ikutan, dan lama kelamaan menjadi sebuah profesi menjadi penghibur jalanan. Sehingga yang tadinya bersekolah, saking asyiknya di Jalanan, mereka memilih untuk yidak melanjutkan sekolah. “Tadinya saya sekolah, tapi uangnya tidak begitu cukup. Akhirnya saya mutusin untuk ngamen aja, seperti teman- teman saya,” kata Suganda, anjal yang lain.

Kisah Asep, Pia, dan Suganda, mungkin hanya sebagian kecil saja yang hidup dalam kerasnya kehidupan jalanan. Masih banyak lagi anjal yang mengalami hal serupa. Bila dihitung, mungkin jumlahnya bias mencapai ratusan bahkan ribuan. Namun, dalam benak mereka, ada keinginan untuk tidak selalu menjadi anjal. Mereka juga punya angan-angan memiliki kehidupan yang layak dan tentunya ingin kembali mendapatkan pendidikan yang layak.(***)