Lahan Pertanian Habis, Kini Jadi Buruh Pabrik


Selama ini, masyarakat melihat warga keturunan sebagai orang kaya. Pekerjaan yang dilakukan biasanya berdagang dan mempunyai toko. Namun tidak demikian dengan warga keturunan di sebuah kawasan di Tangerang. Mereka malah terlihat akrab dengan pertanian dan pekerjaan kasar lain. ‘Cina Benteng’, begitu mereka disebut, berkulit hitam atau gelap.


Sewan, tak berbeda dengan perkampungan pada umumnya, yang secara administratif masuk kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Hari, suasananya tampak begitu lengang seperti daerah yang terpinggirkan. Kegiatan perekonomian pun hanya terlihat begitu sederhana. Itu terbukti dari perdagangan yang berlangsung di sana, seperti pedagang sayur, pengayuh becak, pedagang minuman keliling, pengumpul barang bekas, tambal ban, dan sebagainya.

Namun, bila dilihat lebih seksama, penduduk kawasan ini lebih dominan dihuni oleh warga keturunan, yang kerap disebut ‘Cina Benteng’ oleh pribumi sekitar. Bahkan, pribumi di luar Tangerang pun menyebutnya demikian. Bahasa yang dipakai pun, bukan bahasa nenek moyang, tapi menggunakan bahasa melayu, sunda atau betawi yang cukup kental.

Rumah-rumah di Sewan begitu sederhana. Hanya ada beberapa rumah yang sudah berkeramik dan bercat berwarna-warni dan berlantai dua. Sisanya, rumah gedeg alias temboknya memakai anyaman bambu.

Bila dilihat secara seksama, kebanyakan rumah di kawasan ini memiliki arsitektur unik layaknya rumah orang keturunan tionghoa. Pintu yang terletak di tengah selalu diapit oleh dua jendela di sisi kanan kirinya. Di setiap kusen, baik jendela maupun pintu yang menghadap keluar, kadang berhiaskan banyak tulisan berupa sajak yang dalam bahasa Cina disebut "TUILIAN". Selain itu, masih ada buah pena lain yang biasa ditulis dengan menggunakan Tinta Cina yang dibubuhkan di atas kertas merah atau kuning yang disebut "HU" atau kertas izim yang berfungsi sebagai penolak bala.

Semakin ke dalam, suasana khas Tiongkok kian terasa. Sebuah meja berwarna abu-abu yang biasa disebut altar dengan pemandangan beberapa "HIOLOU" atau tempat menancapkan dupa terlihat berderet rapi. Tak lupa, di belakang hiolou berjejer foto-foto orangtua atau saudara-saudara mereka yang telah meninggal dunia.

Suasana perkampungan semakin dipertegas dengan suara hewan peliharaan seperti ayam dan kambing yang berseliweran. Kawasan ini layaknya pedesaan, padahal letaknya tidak begitu jauh dari pusat perkotaan yang berstatus penyangga ibukota ini. Bila ditilik, kira-kira jarak dari pusat Kota Tangerang sekitar 5 kilometer.

Kehidupan mereka rukun, saling membaur dengan pribumi. Itulah gambaran Cina Benteng yang bernenek moyang dari Hokkian yang datang 300 tahun silam, di Sewan.

Meski banyak versi kenapa mereka disebut Cina Benteng, namun, sejarah menyebutkan sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.

Pada saat itu, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng, Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "Cina Benteng".

Bertani Sebagai Pilihan Hidup
Memang benar, warga Cina Benteng memenuhi kehidupannya dengan cara bekerja yang jauh dari warga keturunan pada umumnya. Mereka lebih suka bertani daripada berniaga atau membuka usaha lainnya. Salah satu alasannya, karena daerah Sewan merupakan daerah pertanian, sehingga tak heran mayoritas penduduk di sini memilih bertani sebagai pekerjaan, selain karena faktor pendidikan yang minim.
“Kalu saya sih pernah menjalani pekerjaan apa saja, dari mulai bertani, dagang, bengkel becak pernah saya lakuin. Yang penting bisa bertahan hidup, dan nggak ngambil hak orang lain,” terang Tan In Hong (71), warga Lebak Wangi, Sewan. Ia juga mengenang dahulu kawasan Sewan masih banyak sekali lahan pertanian yang digarap oleh Cina Benteng. “Tapi sekarang lahan itu telah habis, berubah menjadi pabrik-pabrik besar,” ujar Tan.
Dampak berdirinya pabrik-pabrik itu, secara otomatis mengubah mata pencaharian para warga keturunan. Yang semula bertani, kini menjadi buruh pabrik di area sekitar. “Anak-anak saya lebih senang bekerja di pabrik ketika lulus sekolah, karena selain mendapat penghasilan yang cukup lumayan, juga tidak perlu bersusah payah dalam menggarap sawah,” lanjut Tan bercerita.
Kong Cing Eng (65), salah satu pemerhati budaya Tiong Hoa di Tangerang mengatakan, di kawasan Sewan hingga Kampung Melayu, Tangerang, secara geografis memang banyak sekali lahan pertanian karena keadaan tanah yang bagus dan didukung saluran irigasi yang baik. “Dari situlah warga Cina Benteng yang dahulu mengungsi pada zaman penjajahan memanfaatkan lahan yang ada dengan bertani, hingga menjadi sebuah mata pencaharian,” ujar pria paruh baya ini.
Masih ada beberapa profesi yang dijalani warga Cina Benteng untuk bertahan hidup. Karena letak kawasan yang cukup dekat dengan tempat pembuangn akhir (TPA) Rawa Kucing, maka tak sedikit warga benteng di sekitar yang menjadi pengumpul barang bekas.

Ketaatan Beragama
Kehadiran warga Cina Benteng di Tangerang beberapa abad silam, diikuti hadirnya sejumlah klenteng dan vihara yang merupakan tempat beribadat mereka. Di kawasan Sewan saja berdiri dua klenteng, yaitu Klenteng Mahabodhi atau Tjong Tek Bio dan Vihara Sad-sadha Kusala Ratna yang merupakan tempat kebaktian umat Budha dan krematorium. Selain itu beberapa vihara masih bertengger kokoh di beberapa kawasan. Antara lain di Pasar Baru Tangerang, berdiri Vihara Boen San Bio yang dibangun pada 1689, atau yang paling tua terletak di kawasan Pasar Lama, yaitu Vihara Boen Tek Bio yang dibangun pada 1684.
Kong Cing Eng bercerita, bukti ketaatan warga Cina Benteng beragama adalah dengan masih terawatnya beberapa klenteng dan Vihara. “Ketaatan mereka dibuktikan dengan selalu beribadah setiap minggunya, atau bahkan jika mereka memiliki suatu keinginan, mereka bersembahyang dan meminta keinginannya dikabulkan. Setelah terkabul, biasanya mereka datang membawa barang untuk keperluan vihara,” ujar Cing Eng.
Selain itu, mereka juga masih menjalankan berbagai tradisi keturunan seperti Imlek, Cap Go Meh, bahkan memainkan beberapa kesenian tradisional Tiongkok seperti gambang kromong. (*)