Padi Terancam Puso, Warga Kesulitan Air Bersih


Hawa panas begitu menyengat. Kemarau panjang tiba. Di beberapa sungai, debit air turun drastis. Akibatnya, areal persawahan menjadi kering, padahal musim panen sebentar lagi tiba. Wajah petani terlihat resah lantaran sawahnya terancam puso alias gagal panen. Tak hanya itu, warga di beberapa daerah juga kesulitan mendapatkan air bersih. Begitulah gambaran musim kemarau yang terjadi beberapa bulan ini.


Dari kejauhan sawah terbentang luas seperti di Kramatwatu, Serang. Persawahan itu tampak hijau bak permadani. Namun, bila dilihat dengan seksama, kondisi sesungguhnya tidak demikian. Tanaman padi yang disemai petani beberapa bulan lalu, tampak kekeringan. Bahkan di beberapa bagian areal sawah itu tanahnya terlihat retak-retak, sebesar piring berukuran besar.
Kendati begitu, aktivitas petani masih terlihat. Ada yang menunggu sawah, ngoyos alias menyabuti rumput liar, ada yang sedang mengairi sawah dengan menyedot air dari saluran irigasi menggunakan mesin diesel, ada juga yang sekadar duduk-duduk sambil mengisap rokok.
Namun, di balik semua itu, tersimpan rona keresahan di wajah mereka karena terbayang oleh kegagalan panen. Selain memikirkan kebutuhan hidup sehati-hari, mereka juga memikirkan modal yang sudah dikeluarkan. “Pusing, musim panas sekarang mah kayaknya bakalan lama. Kalau sudah begini, saya jadi takut gagal panen,” ucap Saefudin (50), penggarap sawah di Dermayon Kramatwatu, Kabupaten Serang.
Saefudin menuturkan, kemarau tahun lalu, saluran irigasi yang tak jauh dari sawahnya itu biasanya dialiri air yang cukup mengairi sawah garapannya. Namun, sekarang air yang ada di saluran irigasi itu hanya sedikit. Bahkan untuk mengalirinya harus dibantu mesin diesel. Selain itu, untuk mengairi sawah harus berebut dengan penggarap lain. “Kalau irigasi sudah kering, untuk mengairi sawah harus bergantian. Bahkan dibuat jadwal. Yang penting sawah kita tidak terlantar.” katanya.
Untuk mengairi sawahnya, Saefudin harus rela mendapat jadwal malam hari. Untuk mendapat jatah air, dia juga kerap mengeluarkan ongkos Rp 50 ribu untuk membayar ulu-ulu alias pejabat desa yang mengatur pembagian air dari saluran irigasi. Selain itu, dia juga harus mengeluarkan kocek besar untuk biaya bahan bakar diesel. “Yah mau nggak mau harus ngeluarin duit, namanya juga demi air. Kecuali kalau irigasinya banjir, kita nggak perlu begini,” ujarnya.
Berbeda dengan Saefudin, kondisi sawah milik Kamsi (45) di Dermayon Kramatwatu lebih mengenaskan. Hasil pantauan Radar Banten, tanah sawah yang dimilikinya retak-retak, padinya pun terlihat sangat kering, bahkan hampir mati kekurangan air. Dengan kata lain, sawah milik Kamsi gagal panen.
Pria asal Indramayu, Jawa Barat, itu pun sekarang tinggal meratapi nasibnya. Karena dalam proses awal tanam kemarin dia sudah banyak mengeluarkan uang. Dimulai dengan pembelian bibit, pupuk, bayar orang membantu menggarap, sampai proses pengairan sawah, Kamsi sudah mengeluarkan kocek sebesar Rp 5 juta untuk tiap hektarnya. Belum lagi biaya mengairi air ke sawahnya yang menghabiskan 50 liter solar sehari. Bisa terbayang, berapa kerugian yang diderita Kamsi akibat gagal panen itu.
Saat ini, dia hanya berupaya menyelamatkan sisa sawahnya yang masih bisa terselamatkan. Walau dibenaknya dijejali masalah kerugian. Namun, dia terus berusaha sekuat tenaga tetap bertahan menyelamatkan yang ada. ”Kemarau ini merupakan kemarau terberat selama saya menjadi petani,” ucap Kamsi.
Menurut Saefudin atau Kamsi, mengeringnya saluran air irigasi, selain kemarau panjang juga diakibatkan adanya instalasi pompa PDAM di saluran induk kiri bendungan Pamarayan yang melintas kearah barat Serang yang menghalangi air masuk aliran irigasi. Akibatnya, air tidak sampai mengalir ke persawahan. Lebih-lebih yang sawahnya berada jauh dari saluran irigasi. “Keringnya irigasi juga gara-gara PDAM yang ngehalangin air irigasi sawah. Sekarang mah cuma bisa berharap sama pemerintah agar menanggapi nasib kita agar dapat mengatasi kekeringan ini,” kata mereka kompak, sambil berceloteh kapan hujan turun.
Di tempat terpisah, Dirut PDAM Kabupaten Serang Joko Sutrisno membenarkan bahwa air baku PDAM diambil dari saluran irigasi. Tapi debit air yang diambil hanya sedikit sekali. “Kita hanya membutuhkan sedikit dari 1 meter per kubik yang mengalir di irigasi. Permasalahannya, debit air yang kurang akibat musim kemarau ini. Bukan karena instalasi pompa milik PDAM,” ucapnya, saat ditemui Radar Banten di tempat kerjanya Selasa (15/7).
Hal ini juga sesuai dengan data UPTD Bendung Pamarayan, di mana debit di saluran induk kiri-untuk kecamatan Kramatwatu, Tirtayasa, Pontang, menurun dari 18 meter kubik per detik menjadi 8,64 meter kubik per detik. Sedangkan debit di saluran induk kanan -untuk Kecamatan Cikande dan Carenang- menurun dari 4 meter kubik per detik menjadi 1,85 meter kubik per detik. Hal ini disebabkan tidak turun hujan di hulu sungai Ciujung di Kabupaten Lebak. Selain itu, sedimentasi (pendangkalan) tinggi di udik Bendung Pamarayan juga ikut andil menurunnya debit air di saluran induk ini.
Selain petani, warga Serang dan sekitarnya juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih. Mulai dari konsumen air bersih yang dikelola pemerintah, pengguna pompa air, hingga pemakai sumur mengeluhkan kondisi kemarau yang terjadi.
Seperti yang diberitakan di beberapa media surat kabar lokal, sudah seminggu ini konsumen perusahaan air minum (PAM) mengeluh karena kesulitan mendapatkan suplai air yang sudah menjadi hak mereka sebagai konsumen. ANtara lain Aam (54), ibu rumah tangga warga Cimuncang, Serang, yang sudah lama menjadi konsumen PDAM. Ia bercerita, setiap hari keluarganya rela begadang menunggu air bersih. Sedikit demi sedikit air dikumpulkan dan ditampung dalam bak berukuran besar untuk dipergunakan keperluan sehari-hari. Rasa lelah dan kantuk ia lawan demi mencukupi kebutuhan air untuk keluarganya. “Kalau nggak gini kita gak bakalan dapat air, masa besok gak mandi sih,” ungkapnya sambil menghela napas panjang.
Kesulitan air pun dirasakan warga yang menggunakan mesin pompa air. M Nursoleh (37) yang tinggal di Cimuncang, mengungkapkan, untuk memenuhi tangki penampungan air yang dimilikinya, dibutuhkan waktu 3 jam. Padahal, dalam keadaan normal, untuk memenuhi tangki hanya membutuhkan waktu setengah jam. itu pun ia lakukan pada saat malam hari, karena jika menyedot air dilakukan siang hari, air yang keluar sedikit.
Hal serupa terjadi di RW 03 Lingkungan Pasar Lama, Kelurahan Lontar, Baru Serang. Sebagian warga Pasar Lama kini mengkonsumsi air sumur yang ada di kali Banten. Dua kaleng harganya Rp 3 ribu. Air tersebut digunakan untuk memasak. Sedangkan untuk mandi, sebagian warga melakukannya di sepanjang kali Banten.
“Mau bagaimana lagi. Kondisinya sudah seperti ini. Sekarang, air PDAM sudah tidak ada. Untuk membuat sumur bor dan memasang sanyo atau jetpump tidak punya biaya. Jadinya seperti ini,” ujar Sopan.
Untuk itu, ia berharap pemerintah Kota Serang segera mengantisipasi musim kemarau tahun 2008 ini. Jika musim kemarau ini cukup panjang, air kali Banten pun semakin kering. Akibatnya, imbuh dia, warga pun akan kesulitan mendapatkan air.
“Kalau air kali Banten kering, kami tidak bisa mandi. Jadi lebih susah dong,” tambahnya. (***)