Tidak ada yang menyangka jika Kecamatan Curug, Serang, akan berubah sedemikian cepat. Sekitar awal 2000-an, kawasan ini masih dikelilingi sawah dan kebun milik warga sekitar. Selain itu, kehidupan masyarakatnya pun masih agraris. Namun beberapa tahun setelah Provinsi Banten berdiri, kawasan ini berubah dengan cepat. Pemprov Banten mulai membangun pusat perkantorannya di Desa Sukajaya, Kecamatan Curug, Kota Serang, yang disebut Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Sayangnya, perubahan pembangunan secara fisik itu tidak dibarengi dengan perubahan kebiasaan warga yang kerap buang hajat di sembarang tempat alias dolbon.

Serang

Memasuki Desa Sukajaya di belakang KP3B, bisa dipastikan tercium aroma tak sedap yang menggangu indera penciuman. Setelah ditelusuri, aroma itu berasal dari lahan perkebunan. Ternyata, aroma itu berasal dari kotoran manusia yang berjajar tidak beraturan di kebun. Rupanya warga di kawasan ini masih suka buang hajat di kebun alias dolbon.
Jika dilihat sekilas, rata-rata rumah warga di Desa Sukajaya sudah permanen. Bahkan, banyak juga rumah yang sudah berlantai keramik. Tidak sedikit warga yang mempunyai kendaraan beroda dua dan empat. Namun, yang ironis, sebagian besar warga Curug ternyata tidak memiliki sarana mandi cuci kakus (MCK) di rumahnya.
Een (36), salah seorang warga, mengakui masyarakat di lingkungannya masih banyak yang belum memiliki WC. Jadi, kalau buang hajat, warga masih banyak yang melakukannya di kebun. “Di sini mah banyak yang buang air besar ke kebun. Apalagi kalo pagi-pagi,” katanya.
Meski begitu, Een dan keluarganya sudah meninggalkan kebiasaan itu. Pasalnya, Een sudah memiliki WC. Sebelumnya, Ia beserta keluarganya menganggap WC bukan termasuk kebutuhan pokok dalam hidup. Akhirnya ia memutuskan untuk membangun WC agar buang hajat tidak perlu bersusah payah di kebun. “Ternyata kalau nggak punya WC tuh susah sendiri kalau mau BAB (Buang Air Besar-red). Apalagi kalau siang hari. Mau ke kebun malu, kalau malam, saya agak takut, karena gelap,” akunya dengan tersipu malu.
Sebenarnya, menurut Een, warga di sekitar tempat tinggalnya bukan tidak mampu membangun MCK di rumah, namun karena sudah menjadi kebiasaan, mereka jadi enggan membangun WC. Menurutnya, dolbon lebih praktis ketimbang BAB di WC. “Waktu baru punya WC saya nggak biasa BAB. Malahan susah keluarnya. Tapi lama-lama biasa juga BAB di WC,” ungkapnya.
Selain itu, imbuh dia, saat ini lahan kosong yang biasa digunakan dolbon semakin sedikit. Karena sudah berdiri rumah para pendatang. ”Kalo kebun dan sawah sudah tidak ada, kita mau buang hajat dimana? Makanya mendingan bikin WC dari pada nanti repot,” ungkapnya.
Selain di Curug, kebiasaan dolbon juga terjadi di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Bedanya, mereka bukan buang hajat di kebun, tapi BABnay dilakukan di saluran irigasi yang sejajar dengan jalan raya yang melintas areal pemukiman.
Padahal, saluran irigasi itu dimanfaatkan juga untuk mandi, mencuci pakaian, serta mencuci bahan makanan yang akan di masak. Bahkan untuk minum, mereka mengambil dari saluran irigasi itu.
Yang lebih mencengangkan, jambangan (tempat buang hajat di kali-red) yang dibangun, berada tidak jauh dari aktivitas sehari-hari. Tampaknya mereka tidak merasa risih bebersih di saluran irigasi yang sekaligus digunakan buang hajat. Mereka juga terlihat tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan.
“Enakan mandi di kali, airnya adem. Kalau kotoran manusia yang dibuang ke kali pasti akan mengalir, nggak diam di situ. Jadi ngapain takut cuci baju, ngambil air untuk diminum ya di sini,” ungkap Sutihat yang sedang sibuk mencuci beras di saluran irigasi itu.
Masih menurut Sutihat, untuk BAB nyaman dilakukan di jambangan ketimbang di WC. Padahal di rumahnya,ia memiliki WC. “Paling WC dipake buat tamu yang datang,” katanya.
Sutihat tidak mempersoalkan kebiasaan buang hajat di kali yang kerap digunakan keperluan sehari-hari dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti muntaber dan diare. Baginya melakukan aktivitas sehari-hari sangat bergantung pada saluran irigasi itu.
“Orang-orang di sini sudah biasa nyuci atau BAB di kali, tapi tidak ada yang sakit-sakitan,” tuturnya.
Warga Desa Lebak Kepuh, Kecamatan Pontang, juga masih banyak yang dolbon. Menariknya, kebiasaan dolbon di Desa Lebak Kepuh bukan karena tidak punya WC. Sebagian besar warga Desa Lebak Kepuh mempunyai WC. Namun warga Desa Lebak Kepuh belum mampu menghilangkan kebiasaan buang hajat di kebun.
Seperti yang dikatakan Nasrul (25) salah seorang warga Desa Lebak Kepuh. Menurutnya, alasan melakukan dolbon adalah karena lebih enak dan praktis. Selain itu, dolbon juga bisa dilakukan berkumpul dengan yang lain sambil berbincang. “Enakan buang air di kebon atau sawah, karena praktis. Nggak usah nyiram-nyiram air untuk membersihkan kotoran kita seperti di WC, cukup ditinggal saja,” ungkapnya.
Rupanya, dolbon memang sudah menjadi kebiasaan di beberapa tempat di Serang. Bahkan kebiasaan itu tidak mudah untuk diubah. Seperti yang diucapkan Memet Slamet Riyadi, Kasi Kesehatan Lingkungan Dinkes Kabupaten Serang.
“Dolbon itu susah diubah karena warga Serang memiliki kebiasaan BAB di sembarang tempat. Harus diubah secara bertahap,” katanya.
Berdasarkan pemetaan wilayah Kabupaten/Kota Serang, warga yang memiliki sarana MCK baru mencapai 40 persen pada 2007/2008. Selain faktor kebiasaan, hal yang menyebabkan kecilnya persentase warga memiliki MCK, disebabkan minimnya tingkat pendidikan. Sehingga kesadaran akan pentingnya MCK kurang. “Mereka yang masih dolbon sebenarnya kurang kesadaran akan pentingnya MCK. Ditambah lagi tingkat pendidikan yang masih rendah,” ucapnya.
Untuk menciptakan kesadaran warga tentang pentingnya MCK, Dinkes Kabupaten Serang telah melakukan pelatihan dan penyuluhan kepada seluruh puskesmas untuk merangsang kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi yang baik. “Beberapa waktu lalu, kami undang beberapa puskesmas yang masyarakatnya masih banyak dolbon. Selanjutnya, puskesmas tersebut yang menyampaikan ke masyarakat, tentang akibat yang disebabkan dolbon,” tuturnya.
Untuk pengadaan MCK, imbuhnya, Dinkes Kabupaten Serang sudah tidak melakukannya. Hal itu sudah diserahkan ke Dinas Pekerjaan Umum (DPU) berdasarkan Peraturan Dalam Negeri No.13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. “Saat ini, kami hanya melakukan penyuluhan saja,” ucapnya.
Di tempat berbeda, Solihin, trainer yang kerap diundang instansi-instansi swasta, negeri, maupun internasional yang konsen menyoroti masalah ini mengatakan, untuk memicu kesadaran warga tentang tidak baiknya dolbon, mesti dilakukan pendekatan yang baik. Pendekatan yang tidak menggurui dan memaksa. Sehingga warga memahami permasalahan itu.
“Pendekatan ini dilakukan untuk memicu rasa jijik, malu, harga diri yang rendah, kenyamanan, keamanan, dan takut yang dimaksudkan agar masyarakat timbul kesadaran dan meningkatnya kesadaran untuk memiliki jamban sendiri tanpa dibantu orang lain,” ungkap Solihin.
Ditambahkan, dengan pendekatan ini, di Pandeglang telah berdiri sebanyak 2.900 jamban dalam kurun waktu satu tahun. “Pada 2006 lalu, lembaga Project Concent International (PCI) melakukan pendekatan CLTS di 5 kecamatan di Pandeglang. Secara bertahap ada hasil yang memuaskan,” katanya. (***)