Setiap tahun, menjelang perayaan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, di sejumlah titik di Kota Serang dipenuhi penjual bendera. Seperti yang terlihat di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga). Di Ruas jalan tersebut sedikitnya ada sepuluh orang penjual bendera.
Bendera yang dijual ukurannya berbeda-beda. Ada bendera ukuran kecil yang biasa dipasang di kendaraan roda dua dan empat, ada juga bendera ukuran besar yang biasa dipasang di depan rumah atau perkantoran. Uniknya, yang berjualan bendera merak putih sebagian besar berasal dari luar Kota Serang.

Serang

Keberadaan penjual musiman ini ikut menyemarakan hari kemerdekaan RI, lantaran barang dagangannya menghiasi sisi jalan yang tadinya terlihat kosong melompong.
Namun, tidak ada yang menyangka kalau penjual bendera itu berasal dari luar daerah. Sebab logat bahasanya tidak jauh berbeda dengan logat masyarakat Serang. Bahkan, tak jarang penjual menimpali pembeli dengan bahasa Serang.
“Wih, Bendere sing ukuran sedeng mah, hargane 20 ewu pak, lamun 15 ewu meh kite lake untunge,” kata Nano (26), penjual bendera di jalan Yumaga Serang yang berasal dari Cirebon, saat melayani pembeli asli Serang yang kebetulan menggunakan bahasa setempat pula.
Menurut Nano, bahasa di tempatnya tinggalnya tidak jauh berbeda dengan bahasa Serang. Jadi, ketika ada pembeli yang berkomunikasi dengan bahasa Serang, ia tidak kesulitan mengartikannya. Bahkan, ia terlihat piawai meladeni pembeli dengan bahasa lokal. “Sama aja bahasanya dengan bahasa di tempat saya (Cirebon-red),” ungkapnya, saat santai ditempatnya jualan.
Bukan tak ada sebab Nano memilih Serang sebagai kota tempat berjualan bendera. Ia beralasan, berdasarkan informasi dari temannya, pedagang bendera di Kota Serang masih sedikit ketimbang kota lainnya. Kontan saja, ia langsung berjualan bendera walau hanya musiman.
“Saya tergiur dengan cerita teman-teman, kalau jualan bendera dapat untung lumayan, ketimbang berjualan sayur di tempat saya tinggal,” ucapnya. Dengan modal Rp 2 juta, Nano langsung membeli berbagai ukuran bendera di sentra pembuatan bendera di Cirebon. Menurut perkiraannya, jika terjual ¾ bendera yang terjual, ia akan meraup untung dua kali lipat. Namun, jika tidak banyak terjual, ia dapat mengembalikan kembali bendera yang dijajakan ke sentra tempat ia beli.
“Bendera yang saya jual nggak langsung dibayar, tapi dibawa dulu. Lalu disetor ke bos di Cirebon, sebanyak yang terjual,” katanya.
Selain Nano, ada lagi penjual bendera lainnya yaitu Sudono. Ia berjualan bendera dengan cara berkeliling menggunakan gerobak ke perumahan di kawasan Kramatwatu. Sudono juga mengaku tergiur berjualan bendera di Serang dari informasi temannya.
“Saya diajak teman berjualan bendera di Serang. Katanya sih bisa dapat untung besar. Ternyata benar, baru delapan hari jualan, sudah dapat untung lumayan. Sebentar lagi juga modalnya bisa ketutup,” ungkap Sudono berasal dari Cirebon.
Lain lagi dengan Didi Sardi (62), jualan pria asal Garut, Jawa Barat, tersebut sudah menghiasi Jalan Yumaga sejak 22 Juli silam. Ia sengaja memilih berjualan di sekitar Alun-alun dikarenakan lokasi tersebut merupakan area publik yang mudah terjangkau masyarakat. Didi pun mengaku tidak terlalu sulit mendapatkan pembeli. Namun amat disayangkan, menurutnya, naiknya BBM menurunkan daya beli masyarakat terhadap bendera.
“Alhamdulillah, walau pun pembeli perorangan nggak banyak. Saya dapat pembeli dari komplek-komplek. Mereka itu biasanya beli borongan. Ya mungkin saja buat ngehias gang-gang komplek biar tujuhbelasannya meriah. Sebagai pedagang musiman, saya seneng saja bisa ikut ngeramein,” tutur Didi sambil sesekali membenahi bendera dagangannya.
Soal lokasi, Didi merasa tidak ada masalah. Katanya, tidak ada persaingan untuk menempati lokasi-lokasi berjualan. “Saya jualan di sini dari pertama datang. Temen-temen yang lain juga gitu. Namanya juga usaha jadi pedagang musiman. Ya harus pinter-pinter cari kesempatan. Apalagi Serang ini sudah jadi kota besar dan maju,” tutur kakek yang sudah lima tahun menjadi pedagang musiman di Serang.
Meski menempati area strategis, untuk tahun ini Didi tidak menargetkan untung banyak. “Walaupun tempat di sini deket sama sekolahan dan kantor-kantor. Saya nggak kepikiran buat meraih untung banyak. Kata teman-teman, daerah ini strategis. Tapi saya nggak begitu yakin dapat untung besar. Saya mah hanya berusaha saja,” ungkapnya.
Beda lagi dengan Ian (30), meski sama-sama dari Garut, Ian lebih memilih berjualan di pinggir Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan RS Kencana Serang. Sebenarnya, Ian ingin berjualan di Jalan Veteran, namun beberapa lokasi di jalan tersebut telah ditempati pedagang lain sejawatnya. “Saya pinginnya jualan di sana (Jalan Veteran-red). Berhubung teman nyaraninnya jualan di sini, ya saya nurut saja,” kata Ian yang mengaku jadi pedagang musiman karena diajak teman.
Ian mengaku, tahun ini sepertinya keuntungan yang diraihnya jauh lebih sedikit. Salah satu penyebabnya adalah lokasi berjualan yang kurang strategis. Meski baru dua tahun menjadi pedagang musiman, tetapi Ian cukup fasih menyebut tempat-tempat strategis dalam berjualan. “Alun-alun dan depan Islamic Center itu tempat yang bagus. Karena banyak orang yang nongkrong di sana. Sore-sore banyak orang yang jalan-jalan di situ. Sayang kan kalo disia-siain,” katanya.
Karena itu, tahun ini Ian hanya menargetkan mencari pengalaman saja. Meski begitu untungnya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Garut.
“Ya mau gimana lagi. Saya kebagian di sini, ya saya harus ikutan juga. Tahun ini saya jadikan pengalaman saja,” tutur penjual sayuran di daerahnya itu.
Pemandangan yang tidak kalah meriah terlihat di kawasan Pasar Induk Rau (PIR). Sejak pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, pedagang bendera musiman telah menjajakan barang dagangannya. Bendera-bendera tersebut telah tersusun rapi, ada yang di gantung di tembok pembatas, ada juga yang memasang bendera di bambu, sehingga bendera tersebut berkibar saat ditiup angin. Pemandangan tersebut sudah terlihat satu minggu terakhir.
Kawasan PIR dijadikan lahan empuk bagi beberapa pedagang bendera musiman. Salah satu alasannya yakni kawasan PIR merupakan tempat yang sering didatangi banyak orang. Hal itu diyakini Rohman (22) dan Mail (19), dua pemuda asal Serang itu yakin lokasi yang ditempatinya akan meraup banyak keutungan. “Cari pelanggan itu susah. Makanya kita harus pinter-pinter cari ide, supaya dagangan kita banyak yang beli,” tutur Rohman.
Keduanya mengaku, tiap tahun ada saja order bendera kepada mereka. “Selain dari pembeli perorangan. Kita juga ngelayanin kalo ada yang pesan banyak. Hasilnya lumayan, bisa nutupin kalo lagi nggak ada yang beli. Dari pada kita nganggur di rumah. Lebih baik usaha kecil-kecilan seperti ini,” ungkap Mail. (***)


Komir, 30 Tahun Berjualan Bendera
Tak Pernah Berpindah ke Lain Tempat

Ada yang berbeda dengan penjual bendera di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga) Serang. Komir, pria usia 52 tahun ini, ternyata tidak pernah berpindah ke tempat lain. Sudah 30 tahun ia berjualan di samping SDN Koalisi Nasional.
“Mungkin sudah enak jualan bendera di sini (Yumaga-red), karena sejak dulu dagangan saya banyak yang terjual. Selain itu, saya juga sudah dikenal. Jadi buat apa pindah ke tempat lain,” katanya.
Lantaran sudah bertahun-tahun berjualan bendera di Serang, Komir hapal setiap sudut kota. “Saya mah sudah lama jualan di sini, sejak tahun 1978. Waktu itu, pasar Rau belum ada. Jadi setiap tempat di Serang saya hapal,” ucapnya, di sela-sela pekerjaannya sembari mengingat tahun-tahun ke belakang.
Alasan Komir memilih Serang sebagai tempat berjualan bendera menjelang 17 Agustus cukup sederhana. Di tempat ini masih terbilang sepi penjual bendera di banding kota lainnya. Sebut saja Jakarta, penjual bendera sudah banyak, sehingga dagangannya tidak banyak terjual.
“Sebelum di Serang, setiap tahun sengaja jualan di Jakarta. Tapi lama-lama nggak betah, karena banyak sekali penjual bendera di sana,” ungkapnya.
Meski begitu, selama lima tahun belakangan, Komir mengaku penjualan benderanya mulai menurun. Selain bukan benda sekali pakai alias awet bertahun-tahun, faktor lain adalah banyaknya penjual bendera di Serang.
Seiring dengan itu, Komir juga mulai memutar otak untuk menyiasati agar dagangannya tetap laku dan memperoleh untung besar. Ia memutuskan membuat bendera sendiri dengan membeli kain dan menjahitnya sendiri. “Sebelumnya saya ngambil bendera di agen yang ada di Cirebon,” ungkapnya.
Dengan membuat bendera sendiri, Komir mengaku mengeluarkan modal sebesar Rp 9 juta untuk 30 kodi berbagai jenis bendera, bambu, dan biaya transportasi dari tempat asalnya. Komir juga memperkirakan, jika benderanya terjual semua, ia memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp 6 juta.
“Dibandingkan jualan soto dan empal selama sebulan di sana (Cirebon-red), lebih besar keuntungan berjualan bendera. Padahal saya berjualan bendera sampai tanggal 17 mendatang, tidak sampai tiga minggu,” ucapnya.
Selama tiga minggu, ia mengaku tinggal sementara di tempat temannya yang berada di sekitar Pasar Induk Rau (PIR). Namun untuk biaya makan ditanggung sendiri. “Kalau nggak ada teman di sini, pengeluaran saya bisa gede,” katanya.
Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, biasanya empat hari menjelang perayan Agustusan tingkat penjualan benderanya akan meningkat. “Tahun kemarin saja saya kewalahan melayani pembeli. Makanya untuk tahun ini saya bawa anak paling kecil untuk mengantisipasi banyaknya pembeli,” tutur pria yang memiliki empat anak ini.
Dari bendera yang dijualnya itu, untuk bendera spion sepeda motor haragnya Rp 2 ribu, bendera ukuran 1 m x 70 cm harganya Rp 10 ribu, bendera ukuran besar harganya Rp 25 ribu, dan umbul-umbul beserta bambu dijual dengan harga Rp 20 ribu. Namun, tentu saja bukan berarti harga tersebut tidak bisa ditawar. “Pembeli biasanya nawar dulu sebelum membeli bendera. Kalau harganya cocok, ya saya jual,” pungkasnya. (fauzi)