Pekerjaannya mencari barang bekas, membuat sebagian besar orang menganggap remeh pemulung. Bagaimana tidak? Mereka mengorek tempat sampah untuk mendapatkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual. Namun, berkat kehadirannya pula, lingkungan dapat terbebas dari barang bekas yang bila dibiarkan bisa menjadi sampah. Mereka juga membantu pemerintah dalam mengelola sampah. Tak hanya itu, hasil pekerjaannya mereka juga menjadi tumpuan bagi keluarganya.

FAUZI ALBANTANI – Serang

Selepas subuh, saat aktivitas masih sepi, tempat-tempat yang ramai pada siang atau malam hari di Serang dipenuhi pemulung yang berburu barang bekas. Suasana ini terlihat di kawasan Pasar Lama dan Pasar Rau. Mereka memungut apa saja yang masih bisa dijual, yang tercecer di jalan. Bermodalkan karung yang dipanggul, mereka memungut kardus, plastik atom, atau besi jika ada.
Tak hanya itu, mereka juga tidak sungkan-sungkan mengorek tempat sampah yang mengeluarkan aroma yang tak sedap. Dengan teliti, pemulung mengambil barang bekas jika ada. Jika tidak ada, mereka beranjak ke tempat sampah lainnya sambil berharap dapat menemukan barang bekas yang dapat dijual kembali.
Sekarung, mereka dapat membawa 5 hingga 15 kilogram setiap hari. Dalam sekejap, jalanan yang biasanya ramai itu tampak terbebas dari sampah yang kardus atau plastik.
Selain menggunakan karung, ada juga pemulung yang menggunakan gerobak mirip becak. Namun, untuk berburu barang bekas, mereka tak hanya berkeliling mencari di jalan. Tapi juga kerap menawarkan ke rumah-rumah warga yang memiliki barang bekas. Mereka menawar kardus, plastik, atau besi yang dimiliki warga dengan cara membeli. Untuk kardus, pemulung menawarkan dengan harga Rp 500 per kilogram. Plastik, mereka menawar dengan harga kurang lebih Rp 1.000 per kilogram. Sedangkan besi, mereka berani membeli dengan harga Rp 1.000 per kilogram.
Tidak hanya membeli, dalam mencari barang bekas, mereka juga kerap menawarkan dengan cara barter. Mereka sering menawarkan barang bekas dengan menukarnya dengan minyak tanah atau bahan-bahan dapur, seperti bawang merah.
Tak sampai sehari penuh, jika gerobaknya sudah dirasa penuh dengan barang bekas, pemulung menghentikan aktivitasnya. Artinya, barang buruannya yang terkumpul itu dapat menghasilkan uang lumayan untuk menyambung hidup.
“Kayaknya saya bisa dapat Rp 50 ribu,” ungkap Yasin (22) pemulung yang tinggal di kampung Gempol, Kramatwatu, tanpa menyebutkan berapa kilogram barang bekas yang diperolehnya.
Menurutnya, ia mendapatkan barang bekas dengan berkeliling ke perumahan-perumahan yang ada di kawasan Serdang, Kramatwatu hingga Waringinkurung. Kawasan ini menjadi favorit karena setiap harinya barang yang dicari Yasin banyak terdapat di kawasan itu. Selain itu, di kawasan tersebut, Yasin sudah dikenal warga setempat.
“Saya biasa ngeloroh (memungut barang bekas-red) di sana, karena sudah kenal dengan warga di sana. Satpam yang bertugas di sana juga baik-baik, karena mempermudah saya masuk ke perumahan,” ungkap Yasin, yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang di pinggir Jalan Raya Serang-Cilegon.
Setelah dirasa cukup beristirahat, Yasin bergegas menuju lapak barang bekas untuk menjual barang buruannya itu. Setelah sampai ia langsung menurunkan bawaannya, kemudian dikelompokan sesuai dengan jenisnya, seperti kardus ia kumpulkan bersama kardus yang lain menjadi satu.

Lapak Barang Bekas
Sekira pukul 16.00 WIB, biasanya lapak barang bekas dipenuhi antrean pemulung yang siap menjual barang buruannya. Seperti yang terlihat di lapak barang bekas milik Suryana (26) di Kemang Serang. Menurutnya, sehari lapaknya menampung sekitar 8 kwintal atau sepadan dengan 800 kilogram barang bekas yang didapat pemulung. Dari jumlah tersebut, Suryana mengantongi untung hingga Rp 400 ribu. Dari keuntunganya itu, Suryana dapat menghidupi keluarganya dan 5 orang karyawan.
Setelah terkumpul melebihi 1 ton, Suryana langsung mengirim barang bekas sesuai dengan jenisnya ke pabrik-pabrik daur ulang di Jakarta. “Kalau sudah banyak, langsung di kirim ke Jakarta. Biasanya setelah mengirim lapak kami jadi bersih tanpa tersisa. Namun, sampai sekarang, saya ngirim dengan menyewa mobil, maklum saya belum punya mobil losbak,” katanya.

Lingkungan Jadi Bersih
Yasin dan Suryana salah satu contoh orang yang berpenghasilan dari barang bekas. Namun, dengan pekerjaannya itu, sekaligus mereka ikut andil menjaga lingkungan. Bagaimana tidak. Barang bekas yang sudah tidak terpakai, pasti dibuang oleh pemiliknya. Tak jarang, warga juga kerap membuang barang bekas sembarangan. Sehingga lingkungan menjadi kotor dan tak sedap dipandang mata.
Dari warga sendiri banyak merasa terbantu dengan kehadiran mereka, salah satunya Kurniasih yang tinggal di perumahan Pasir Indah Serang. Menurutnya, jika kardus atau plastik yang dibuang ke tempat sampah tidak diambil kembali petugas kebersihan, maka sampah menjadi menumpuk. Dan akhirnya tercecer hingga ke jalan. “Justru mereka juga membantu kita dalam hal permasalahan sampah,” ungkapnya.
Kurniasih pun sering memberikan langsung barang bekas yang tidak terpakai kepada pemulung. “Kadang-kadang barang bekas saya kumpulkan di gudang. Kalau ada pemulung saya kasih, tapi kalau besi saya jual ke mereka,” tambahnya.
Walau begitu, banyak juga warga yang tidak senang dengan keberadaan mereka, salah satunya Nurhayati, warga Taman Purnabhakti Taktakan. Menurutnya, pemulung terkadang sembarangan dalam mencari barang bekas. Sehingga, bukannya jadi bersih, malah menjadi lingkungan menjadi kotor dan sampah menjadi tercecer. “Kalau ngorek-ngorek tempat sampah, kadang mereka sering ngacak-ngacak,” ungkap ibu rumah tangga ini.
Selain itu, mereka juga kerap mengambil barang yang masih terpakai diam-diam. “Waktu itu, jemuran saya pernah hilang, kemungkinan diambil pemulung. Karena sebelum saya tahu jemuran hilang, saya melihat pemulung berada di dekat rumah saya,” tambahnya.(***)


Putus Sekolah Karena Tidak Mampu

Dengan langkah lunglai sambil memanggul karung setengah terisi di pundak kanan, Rusli (15) menuju rumahnya di Pegadingan, Kramatwatu. Di teras rumahnya, bocah kuyu ini membongkar isi karung. Satu per satu barang bekas dalam karung dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Kardus, plastik atom, dan besi dipisahkan.
Hari itu (28/08), Rusli tampak tidak puas dengan hasil buruannya. Maklum saja, karung yang dibawanya hanya terisi setengah. Padahal, sudah seharian ia berkeliling di kawasan Cilegon.
“Hari ini barang bekasnya sedikit, mungkin sudah keduluan orang lain (pemulung-red),” keluhnya, sembari mengipas-ngipas tubuhnya dengan secarik kertas.
Tampaknya, ia menunda menyetor barang buruannya ke lapak yang tidak jauh dari rumahnya. Pasalnya, jika dijual uang yang didapat sedikit. “Saya kumpulin dulu biar banyak, besok baru saya jual,” katanya.
Begitulah keseharian Rusli. Pekerjaannya ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari hasil jerih payahnya itu, ia dapat membantu orangtua dan tiga adiknya yang masih kecil.
“Saya jadi pemulung, karena tidak ada lagi yang bisa saya kerjakan. Ini saya lakukan untuk membantu keluarga, karena ibu saya hanya dagang kecil-kecilan,” ucapnya.
Sayangnya, Rusli kini tidak lagi bersekolah. Menurutnya, ia putus sekolah sejak lulus SD. Alasannya, orangtuanya tidak mampu membiayai biaya sekolahnya. Kini, ibunya hanya mampu menanggung biaya sekolah adik-adiknya yang masih SD.
“Bapak saya sudah tidak ada, penghasilan ibu tidak cukup untuk biaya sekolah. Mau tidak mau saya ngalah tidak melanjutkan sekolah,” ungkapnya.
Sebenarnya, pilihannya ini berat. Ia merasa iri melihat teman-teman sebayanya yang masih sekolah. Apalagi kelak persaingan hidup begitu ketat. Apalah arti ijazah SD saat ini. Bahkan, kini ia merasa malu menjadi pemulung, karena kerap dianggap remeh oleh orang. “Sebenarnya saya tidak mau jadi pemulung, abis sering diolok-olok sih,” tuturnya.
Ia memiliki angan-angan seperti kebanyakan anak-anak sebayanya yang memiliki cita-cita setinggi langit. Namun, cita-citanya tidak muluk, ia punya keinginan menjadi karyawan di sebuah perusahaan. “Kalau saya masih sekolah, saya mau menamatkan hingga STM. Setelah itu saya ingin menjadi karyawan di pabrik besar,” katanya.
Rusli hanya salah satu anak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja menjadi pemulung. Masih banyak anak yang seperti Rusli, khususnya di Serang. Walau pekerjaan memulung adalah pilihan yang mutlak, mereka memiliki cita-cita tinggi. Keberadaan mereka juga bermanfaat bagi masyarakat. Dengan memungut barang bekas, setidaknya kebersihan lingkungan terbantu, karena barang bekas yang tidak sedap dipandang mata dan tidak bermanfaat bagi masyarakat tidak menjadi sampah di lingkungan tempat tinggal masyarakat.(fauzi)

 

Setiap tahun, menjelang perayaan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, di sejumlah titik di Kota Serang dipenuhi penjual bendera. Seperti yang terlihat di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga). Di Ruas jalan tersebut sedikitnya ada sepuluh orang penjual bendera.
Bendera yang dijual ukurannya berbeda-beda. Ada bendera ukuran kecil yang biasa dipasang di kendaraan roda dua dan empat, ada juga bendera ukuran besar yang biasa dipasang di depan rumah atau perkantoran. Uniknya, yang berjualan bendera merak putih sebagian besar berasal dari luar Kota Serang.

Serang

Keberadaan penjual musiman ini ikut menyemarakan hari kemerdekaan RI, lantaran barang dagangannya menghiasi sisi jalan yang tadinya terlihat kosong melompong.
Namun, tidak ada yang menyangka kalau penjual bendera itu berasal dari luar daerah. Sebab logat bahasanya tidak jauh berbeda dengan logat masyarakat Serang. Bahkan, tak jarang penjual menimpali pembeli dengan bahasa Serang.
“Wih, Bendere sing ukuran sedeng mah, hargane 20 ewu pak, lamun 15 ewu meh kite lake untunge,” kata Nano (26), penjual bendera di jalan Yumaga Serang yang berasal dari Cirebon, saat melayani pembeli asli Serang yang kebetulan menggunakan bahasa setempat pula.
Menurut Nano, bahasa di tempatnya tinggalnya tidak jauh berbeda dengan bahasa Serang. Jadi, ketika ada pembeli yang berkomunikasi dengan bahasa Serang, ia tidak kesulitan mengartikannya. Bahkan, ia terlihat piawai meladeni pembeli dengan bahasa lokal. “Sama aja bahasanya dengan bahasa di tempat saya (Cirebon-red),” ungkapnya, saat santai ditempatnya jualan.
Bukan tak ada sebab Nano memilih Serang sebagai kota tempat berjualan bendera. Ia beralasan, berdasarkan informasi dari temannya, pedagang bendera di Kota Serang masih sedikit ketimbang kota lainnya. Kontan saja, ia langsung berjualan bendera walau hanya musiman.
“Saya tergiur dengan cerita teman-teman, kalau jualan bendera dapat untung lumayan, ketimbang berjualan sayur di tempat saya tinggal,” ucapnya. Dengan modal Rp 2 juta, Nano langsung membeli berbagai ukuran bendera di sentra pembuatan bendera di Cirebon. Menurut perkiraannya, jika terjual ¾ bendera yang terjual, ia akan meraup untung dua kali lipat. Namun, jika tidak banyak terjual, ia dapat mengembalikan kembali bendera yang dijajakan ke sentra tempat ia beli.
“Bendera yang saya jual nggak langsung dibayar, tapi dibawa dulu. Lalu disetor ke bos di Cirebon, sebanyak yang terjual,” katanya.
Selain Nano, ada lagi penjual bendera lainnya yaitu Sudono. Ia berjualan bendera dengan cara berkeliling menggunakan gerobak ke perumahan di kawasan Kramatwatu. Sudono juga mengaku tergiur berjualan bendera di Serang dari informasi temannya.
“Saya diajak teman berjualan bendera di Serang. Katanya sih bisa dapat untung besar. Ternyata benar, baru delapan hari jualan, sudah dapat untung lumayan. Sebentar lagi juga modalnya bisa ketutup,” ungkap Sudono berasal dari Cirebon.
Lain lagi dengan Didi Sardi (62), jualan pria asal Garut, Jawa Barat, tersebut sudah menghiasi Jalan Yumaga sejak 22 Juli silam. Ia sengaja memilih berjualan di sekitar Alun-alun dikarenakan lokasi tersebut merupakan area publik yang mudah terjangkau masyarakat. Didi pun mengaku tidak terlalu sulit mendapatkan pembeli. Namun amat disayangkan, menurutnya, naiknya BBM menurunkan daya beli masyarakat terhadap bendera.
“Alhamdulillah, walau pun pembeli perorangan nggak banyak. Saya dapat pembeli dari komplek-komplek. Mereka itu biasanya beli borongan. Ya mungkin saja buat ngehias gang-gang komplek biar tujuhbelasannya meriah. Sebagai pedagang musiman, saya seneng saja bisa ikut ngeramein,” tutur Didi sambil sesekali membenahi bendera dagangannya.
Soal lokasi, Didi merasa tidak ada masalah. Katanya, tidak ada persaingan untuk menempati lokasi-lokasi berjualan. “Saya jualan di sini dari pertama datang. Temen-temen yang lain juga gitu. Namanya juga usaha jadi pedagang musiman. Ya harus pinter-pinter cari kesempatan. Apalagi Serang ini sudah jadi kota besar dan maju,” tutur kakek yang sudah lima tahun menjadi pedagang musiman di Serang.
Meski menempati area strategis, untuk tahun ini Didi tidak menargetkan untung banyak. “Walaupun tempat di sini deket sama sekolahan dan kantor-kantor. Saya nggak kepikiran buat meraih untung banyak. Kata teman-teman, daerah ini strategis. Tapi saya nggak begitu yakin dapat untung besar. Saya mah hanya berusaha saja,” ungkapnya.
Beda lagi dengan Ian (30), meski sama-sama dari Garut, Ian lebih memilih berjualan di pinggir Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan RS Kencana Serang. Sebenarnya, Ian ingin berjualan di Jalan Veteran, namun beberapa lokasi di jalan tersebut telah ditempati pedagang lain sejawatnya. “Saya pinginnya jualan di sana (Jalan Veteran-red). Berhubung teman nyaraninnya jualan di sini, ya saya nurut saja,” kata Ian yang mengaku jadi pedagang musiman karena diajak teman.
Ian mengaku, tahun ini sepertinya keuntungan yang diraihnya jauh lebih sedikit. Salah satu penyebabnya adalah lokasi berjualan yang kurang strategis. Meski baru dua tahun menjadi pedagang musiman, tetapi Ian cukup fasih menyebut tempat-tempat strategis dalam berjualan. “Alun-alun dan depan Islamic Center itu tempat yang bagus. Karena banyak orang yang nongkrong di sana. Sore-sore banyak orang yang jalan-jalan di situ. Sayang kan kalo disia-siain,” katanya.
Karena itu, tahun ini Ian hanya menargetkan mencari pengalaman saja. Meski begitu untungnya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya di Garut.
“Ya mau gimana lagi. Saya kebagian di sini, ya saya harus ikutan juga. Tahun ini saya jadikan pengalaman saja,” tutur penjual sayuran di daerahnya itu.
Pemandangan yang tidak kalah meriah terlihat di kawasan Pasar Induk Rau (PIR). Sejak pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, pedagang bendera musiman telah menjajakan barang dagangannya. Bendera-bendera tersebut telah tersusun rapi, ada yang di gantung di tembok pembatas, ada juga yang memasang bendera di bambu, sehingga bendera tersebut berkibar saat ditiup angin. Pemandangan tersebut sudah terlihat satu minggu terakhir.
Kawasan PIR dijadikan lahan empuk bagi beberapa pedagang bendera musiman. Salah satu alasannya yakni kawasan PIR merupakan tempat yang sering didatangi banyak orang. Hal itu diyakini Rohman (22) dan Mail (19), dua pemuda asal Serang itu yakin lokasi yang ditempatinya akan meraup banyak keutungan. “Cari pelanggan itu susah. Makanya kita harus pinter-pinter cari ide, supaya dagangan kita banyak yang beli,” tutur Rohman.
Keduanya mengaku, tiap tahun ada saja order bendera kepada mereka. “Selain dari pembeli perorangan. Kita juga ngelayanin kalo ada yang pesan banyak. Hasilnya lumayan, bisa nutupin kalo lagi nggak ada yang beli. Dari pada kita nganggur di rumah. Lebih baik usaha kecil-kecilan seperti ini,” ungkap Mail. (***)


Komir, 30 Tahun Berjualan Bendera
Tak Pernah Berpindah ke Lain Tempat

Ada yang berbeda dengan penjual bendera di Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga) Serang. Komir, pria usia 52 tahun ini, ternyata tidak pernah berpindah ke tempat lain. Sudah 30 tahun ia berjualan di samping SDN Koalisi Nasional.
“Mungkin sudah enak jualan bendera di sini (Yumaga-red), karena sejak dulu dagangan saya banyak yang terjual. Selain itu, saya juga sudah dikenal. Jadi buat apa pindah ke tempat lain,” katanya.
Lantaran sudah bertahun-tahun berjualan bendera di Serang, Komir hapal setiap sudut kota. “Saya mah sudah lama jualan di sini, sejak tahun 1978. Waktu itu, pasar Rau belum ada. Jadi setiap tempat di Serang saya hapal,” ucapnya, di sela-sela pekerjaannya sembari mengingat tahun-tahun ke belakang.
Alasan Komir memilih Serang sebagai tempat berjualan bendera menjelang 17 Agustus cukup sederhana. Di tempat ini masih terbilang sepi penjual bendera di banding kota lainnya. Sebut saja Jakarta, penjual bendera sudah banyak, sehingga dagangannya tidak banyak terjual.
“Sebelum di Serang, setiap tahun sengaja jualan di Jakarta. Tapi lama-lama nggak betah, karena banyak sekali penjual bendera di sana,” ungkapnya.
Meski begitu, selama lima tahun belakangan, Komir mengaku penjualan benderanya mulai menurun. Selain bukan benda sekali pakai alias awet bertahun-tahun, faktor lain adalah banyaknya penjual bendera di Serang.
Seiring dengan itu, Komir juga mulai memutar otak untuk menyiasati agar dagangannya tetap laku dan memperoleh untung besar. Ia memutuskan membuat bendera sendiri dengan membeli kain dan menjahitnya sendiri. “Sebelumnya saya ngambil bendera di agen yang ada di Cirebon,” ungkapnya.
Dengan membuat bendera sendiri, Komir mengaku mengeluarkan modal sebesar Rp 9 juta untuk 30 kodi berbagai jenis bendera, bambu, dan biaya transportasi dari tempat asalnya. Komir juga memperkirakan, jika benderanya terjual semua, ia memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp 6 juta.
“Dibandingkan jualan soto dan empal selama sebulan di sana (Cirebon-red), lebih besar keuntungan berjualan bendera. Padahal saya berjualan bendera sampai tanggal 17 mendatang, tidak sampai tiga minggu,” ucapnya.
Selama tiga minggu, ia mengaku tinggal sementara di tempat temannya yang berada di sekitar Pasar Induk Rau (PIR). Namun untuk biaya makan ditanggung sendiri. “Kalau nggak ada teman di sini, pengeluaran saya bisa gede,” katanya.
Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, biasanya empat hari menjelang perayan Agustusan tingkat penjualan benderanya akan meningkat. “Tahun kemarin saja saya kewalahan melayani pembeli. Makanya untuk tahun ini saya bawa anak paling kecil untuk mengantisipasi banyaknya pembeli,” tutur pria yang memiliki empat anak ini.
Dari bendera yang dijualnya itu, untuk bendera spion sepeda motor haragnya Rp 2 ribu, bendera ukuran 1 m x 70 cm harganya Rp 10 ribu, bendera ukuran besar harganya Rp 25 ribu, dan umbul-umbul beserta bambu dijual dengan harga Rp 20 ribu. Namun, tentu saja bukan berarti harga tersebut tidak bisa ditawar. “Pembeli biasanya nawar dulu sebelum membeli bendera. Kalau harganya cocok, ya saya jual,” pungkasnya. (fauzi)

 

Tidak ada yang menyangka jika Kecamatan Curug, Serang, akan berubah sedemikian cepat. Sekitar awal 2000-an, kawasan ini masih dikelilingi sawah dan kebun milik warga sekitar. Selain itu, kehidupan masyarakatnya pun masih agraris. Namun beberapa tahun setelah Provinsi Banten berdiri, kawasan ini berubah dengan cepat. Pemprov Banten mulai membangun pusat perkantorannya di Desa Sukajaya, Kecamatan Curug, Kota Serang, yang disebut Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Sayangnya, perubahan pembangunan secara fisik itu tidak dibarengi dengan perubahan kebiasaan warga yang kerap buang hajat di sembarang tempat alias dolbon.

Serang

Memasuki Desa Sukajaya di belakang KP3B, bisa dipastikan tercium aroma tak sedap yang menggangu indera penciuman. Setelah ditelusuri, aroma itu berasal dari lahan perkebunan. Ternyata, aroma itu berasal dari kotoran manusia yang berjajar tidak beraturan di kebun. Rupanya warga di kawasan ini masih suka buang hajat di kebun alias dolbon.
Jika dilihat sekilas, rata-rata rumah warga di Desa Sukajaya sudah permanen. Bahkan, banyak juga rumah yang sudah berlantai keramik. Tidak sedikit warga yang mempunyai kendaraan beroda dua dan empat. Namun, yang ironis, sebagian besar warga Curug ternyata tidak memiliki sarana mandi cuci kakus (MCK) di rumahnya.
Een (36), salah seorang warga, mengakui masyarakat di lingkungannya masih banyak yang belum memiliki WC. Jadi, kalau buang hajat, warga masih banyak yang melakukannya di kebun. “Di sini mah banyak yang buang air besar ke kebun. Apalagi kalo pagi-pagi,” katanya.
Meski begitu, Een dan keluarganya sudah meninggalkan kebiasaan itu. Pasalnya, Een sudah memiliki WC. Sebelumnya, Ia beserta keluarganya menganggap WC bukan termasuk kebutuhan pokok dalam hidup. Akhirnya ia memutuskan untuk membangun WC agar buang hajat tidak perlu bersusah payah di kebun. “Ternyata kalau nggak punya WC tuh susah sendiri kalau mau BAB (Buang Air Besar-red). Apalagi kalau siang hari. Mau ke kebun malu, kalau malam, saya agak takut, karena gelap,” akunya dengan tersipu malu.
Sebenarnya, menurut Een, warga di sekitar tempat tinggalnya bukan tidak mampu membangun MCK di rumah, namun karena sudah menjadi kebiasaan, mereka jadi enggan membangun WC. Menurutnya, dolbon lebih praktis ketimbang BAB di WC. “Waktu baru punya WC saya nggak biasa BAB. Malahan susah keluarnya. Tapi lama-lama biasa juga BAB di WC,” ungkapnya.
Selain itu, imbuh dia, saat ini lahan kosong yang biasa digunakan dolbon semakin sedikit. Karena sudah berdiri rumah para pendatang. ”Kalo kebun dan sawah sudah tidak ada, kita mau buang hajat dimana? Makanya mendingan bikin WC dari pada nanti repot,” ungkapnya.
Selain di Curug, kebiasaan dolbon juga terjadi di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Bedanya, mereka bukan buang hajat di kebun, tapi BABnay dilakukan di saluran irigasi yang sejajar dengan jalan raya yang melintas areal pemukiman.
Padahal, saluran irigasi itu dimanfaatkan juga untuk mandi, mencuci pakaian, serta mencuci bahan makanan yang akan di masak. Bahkan untuk minum, mereka mengambil dari saluran irigasi itu.
Yang lebih mencengangkan, jambangan (tempat buang hajat di kali-red) yang dibangun, berada tidak jauh dari aktivitas sehari-hari. Tampaknya mereka tidak merasa risih bebersih di saluran irigasi yang sekaligus digunakan buang hajat. Mereka juga terlihat tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan.
“Enakan mandi di kali, airnya adem. Kalau kotoran manusia yang dibuang ke kali pasti akan mengalir, nggak diam di situ. Jadi ngapain takut cuci baju, ngambil air untuk diminum ya di sini,” ungkap Sutihat yang sedang sibuk mencuci beras di saluran irigasi itu.
Masih menurut Sutihat, untuk BAB nyaman dilakukan di jambangan ketimbang di WC. Padahal di rumahnya,ia memiliki WC. “Paling WC dipake buat tamu yang datang,” katanya.
Sutihat tidak mempersoalkan kebiasaan buang hajat di kali yang kerap digunakan keperluan sehari-hari dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti muntaber dan diare. Baginya melakukan aktivitas sehari-hari sangat bergantung pada saluran irigasi itu.
“Orang-orang di sini sudah biasa nyuci atau BAB di kali, tapi tidak ada yang sakit-sakitan,” tuturnya.
Warga Desa Lebak Kepuh, Kecamatan Pontang, juga masih banyak yang dolbon. Menariknya, kebiasaan dolbon di Desa Lebak Kepuh bukan karena tidak punya WC. Sebagian besar warga Desa Lebak Kepuh mempunyai WC. Namun warga Desa Lebak Kepuh belum mampu menghilangkan kebiasaan buang hajat di kebun.
Seperti yang dikatakan Nasrul (25) salah seorang warga Desa Lebak Kepuh. Menurutnya, alasan melakukan dolbon adalah karena lebih enak dan praktis. Selain itu, dolbon juga bisa dilakukan berkumpul dengan yang lain sambil berbincang. “Enakan buang air di kebon atau sawah, karena praktis. Nggak usah nyiram-nyiram air untuk membersihkan kotoran kita seperti di WC, cukup ditinggal saja,” ungkapnya.
Rupanya, dolbon memang sudah menjadi kebiasaan di beberapa tempat di Serang. Bahkan kebiasaan itu tidak mudah untuk diubah. Seperti yang diucapkan Memet Slamet Riyadi, Kasi Kesehatan Lingkungan Dinkes Kabupaten Serang.
“Dolbon itu susah diubah karena warga Serang memiliki kebiasaan BAB di sembarang tempat. Harus diubah secara bertahap,” katanya.
Berdasarkan pemetaan wilayah Kabupaten/Kota Serang, warga yang memiliki sarana MCK baru mencapai 40 persen pada 2007/2008. Selain faktor kebiasaan, hal yang menyebabkan kecilnya persentase warga memiliki MCK, disebabkan minimnya tingkat pendidikan. Sehingga kesadaran akan pentingnya MCK kurang. “Mereka yang masih dolbon sebenarnya kurang kesadaran akan pentingnya MCK. Ditambah lagi tingkat pendidikan yang masih rendah,” ucapnya.
Untuk menciptakan kesadaran warga tentang pentingnya MCK, Dinkes Kabupaten Serang telah melakukan pelatihan dan penyuluhan kepada seluruh puskesmas untuk merangsang kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi yang baik. “Beberapa waktu lalu, kami undang beberapa puskesmas yang masyarakatnya masih banyak dolbon. Selanjutnya, puskesmas tersebut yang menyampaikan ke masyarakat, tentang akibat yang disebabkan dolbon,” tuturnya.
Untuk pengadaan MCK, imbuhnya, Dinkes Kabupaten Serang sudah tidak melakukannya. Hal itu sudah diserahkan ke Dinas Pekerjaan Umum (DPU) berdasarkan Peraturan Dalam Negeri No.13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. “Saat ini, kami hanya melakukan penyuluhan saja,” ucapnya.
Di tempat berbeda, Solihin, trainer yang kerap diundang instansi-instansi swasta, negeri, maupun internasional yang konsen menyoroti masalah ini mengatakan, untuk memicu kesadaran warga tentang tidak baiknya dolbon, mesti dilakukan pendekatan yang baik. Pendekatan yang tidak menggurui dan memaksa. Sehingga warga memahami permasalahan itu.
“Pendekatan ini dilakukan untuk memicu rasa jijik, malu, harga diri yang rendah, kenyamanan, keamanan, dan takut yang dimaksudkan agar masyarakat timbul kesadaran dan meningkatnya kesadaran untuk memiliki jamban sendiri tanpa dibantu orang lain,” ungkap Solihin.
Ditambahkan, dengan pendekatan ini, di Pandeglang telah berdiri sebanyak 2.900 jamban dalam kurun waktu satu tahun. “Pada 2006 lalu, lembaga Project Concent International (PCI) melakukan pendekatan CLTS di 5 kecamatan di Pandeglang. Secara bertahap ada hasil yang memuaskan,” katanya. (***)